Header Ads

Kopi dan Ilusi Berperadaban


Saat mencoba mesin roasting barunya, suami datang dengan sekantong biji kopi. Kopi Tambora ujarnya. Setelah prosesi roasting (memanggang biji kopi) dan grinding(menggiling biji kopi) yang entahlah bagaimana itu, antusiasmenya tampak menggebu. Dia bilang, ada rasa –dan bau- lemon yang kuat dalam kopi Tambora itu. Lalu, apa peduli saya? Bukankah semua kopi Arabica memang punya acidity (keasaman) yang kuat. Dari situ kuliah panjangpun dimulai.

Biji kopi Tambora yang dimiliki suami adalah biji kopi dari jenis coffea canephora (robusta), artinya seharusnya yang kuat adalah rasa pahitnya. Jika kopi robusta memiliki tingkat keasaman yang baik berarti ia jenis robusta high quality. Kopi Tambora memang biji kopi robusta grade A. Demikian cerita tentang kopi Tambora dimulai.
Di sejumlah wilayah di sekitar gunung Tambora, penduduknya menjadi petani kopi, hanya petani kopi. Artinya mata pencaharian mereka ya bertani kopi, bukan yang lain. Mereka menjadi petani kopi turun temurun sejak penjajahan Belanda.  Luar biasanya, dengan segala keterbatasan mereka, petani kopi Tambora mengerjakan pertaniannya dengan sangat profesional. Misalnya saja, biji kopi yang sudah matang setelah dipisahkan dengan biji yang belum matang merah, dijemur di suatu wadah anyaman yang posisinya tidak di tanah. Bandingkan dengan sebagian petani kopi yang menjemur biji kopi di atas alas yang diletakkan di atas tanah yang membuat tanah mendistorsi rasa biji kopi.
NAMUN, LAYAKNYA PANGGUNG PERTUNJUKAN, PETANI KOPI LUAR BIASA YANG MENGHASILKAN BIJI KOPI LUAR BIASA, ADALAH EUFORIA PARA COFFEE-SNOB DI ERA KOPI GELOMBANG KE-3. KISAH PILU SELALU MENGINTIP DI BELAKANG LAYAR PANGGUNG.
Se-outstanding apapun biji kopi mereka, Petani kopi Tambora tetap menjadi masyarakat miskin yang jauh dari kemewahan para peneguk kopi yang biji kopinya mereka tanam. Mereka selalu babak belur di tangan para tengkulak dan cenderung diabaikan pemerintah daerahnya. Tengkulak menentukan harga kopi sebagai tangan pertama, well, 30 ribu rupiah 1 kg, bandingkan dengan harga jual online misalnya 250 gram, 49 ribu rupiah yang artinya 1 kg seharga 196 ribu rupiah. Ituuu… harga jual dalam negeri.
Saya tidak tahu harga kopi Tamboraekspor, dan harganya ketika disajikan di kafe-kafe di sepanjang tepi sungai di Venesia. Yang lebih dramatis dari harga jual yang menyakitkan hati itu adalah ketika para petani sedang terdesak kebutuhan ekonomi, para tengkulak akan datang meminjami mereka uang, 1 juta rupah untuk bayaran 100 kg kopi, dan di sisi lain, kita begitu memuja kopi dengan segala ritual cara meminumnya lalu menahbiskan diri kita sebagai manusia berperadaban.
Bicara petani kopi Tambora, mau tak mau menarik saya untuk membicarakan petani kopi Pengaron (ya juga karena suami penjual dan penyeduh kopi Pengaron). Sekitar dua tahun lalu saat memulai usaha kopi dan mencoba menelusuri ke bagian hulu kopi Pengaron alias para petaninya, kami mendatangi dinas kabupaten yang terkait dengan permasalahan pertanian. Kami bertanya soal petani kopi Pengaron. Dinas yang tidak usah disebut-sebut namanya ini lalu menyampaikan kalau mereka tidak tahu banyak soal itu. Suatu indikasi bahwa pembinaan petani kopi bukan prioritas (meski saya dengar tahun ini pembinaan itu mulai dilakukan sungguh-sungguh, syukurlah jika benar).
Kami juga pernah mencoba menelusuri daerah Pengaron untuk mencari kebun kopi, dan kebun kopi itu tidak pernah ditemukan, yup, it’s never been  there. Ternyata, penanaman kopi Pengaron tidak dilakukan secara profesional dengan satu kebun tersendiri seperti yang sering kita lihat di film-film dokumenter tentang kopi. Nope.
Kopi Pengaron ditanam di antara pepohonan lain di atas bukit, di halaman belakang rumah, dan halaman depan rumah. Ia ditanam begitu saja, dan dengan karunia yang Allah berikan, ia tumbuh. Maka, sebenarnya petani kopi Pengaron itu tidak pernah benar-benar ada. Petani karet mungkin iya, tapi petani kopi secara khusus tidak, mereka hanya menyambi. Padahal tradisi menanam kopi ini sudah diwariskan oleh penjajah Belanda. Wilayah Pengaron yang dulunya merupakan banteng milik Belanda memang sekaligus dijadikan area penanaman kopi. Jika di beberapa wilayah lain warisan (baik) menanam kopi dari Belanda itu masih eksis dan cenderung tumbuh menjadi industri kopi yang kuat, maka di Pengaron tidak.
Pertanian kopi Pengaron profesional itu belum ada. Jika kami membeli biji kopi, maka kami harus memilah, mana biji kopi yang matang baik dan mana yang defect (biji kopi belum matang yang dipanen). Biji kopi defect inilah yang ditinggal atau disisakan eksportir kopi ketika mengekspor kopi terbaik negeri ini ke luar negeri. Dan ironisnya, biji kopi defect inilah yang diolah perusahaan-perusahaan kopi besar dalam negeri untuk dijual pada konsumen-konsumen pribumi. Selain kebiasaan memanen biji kopi tanpa pemilahan, ada juga kecenderungan proses roasting di tingkat pengepul yang berorientasi pada panggang hangit alias memanggang terlalu lama sampai biji kopi hitam. Sebagian orang mungkin suka dengan rasa kopi seperti ini, tapi sebagian lagi tidak. Oleh sebab itu, kami usahakan membeli biji kopi mentah  lalu di-roasting sendiri agar bisa menentukan tingkat ‘kehangitan’.
Pengabaian terhadap (kualitas) kopi ini sungguh mengherankan. Padahal bisnis kopi adalah bisnis yang sangat menjanjikan. Mungkin lebih menjanjikan daripada mineral tak terbarukan, #eh.
Menurut data International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi di dunia periode 2016-2017 adalah 157,38 juta karung. Negara macam Finlandia dan Belanda misalnya, penduduknya adalah pecandu kopi. Penduduk Finlandia rata-rata mengkonsumsi kopi sekitar 12,5 kg/ orang/ tahun. Jangan tanyakan Belanda. VOC (ingat VOC kan, perusahaan multinasional pertama di dunia yang didirikan oleh orang-orang Belanda yang menjadi cikal bakal penjajahan Belanda di Indonesia) bahkan menjadikan kopi Indonesia (yang dijajahnya) sebagai produk ekspor mereka sejak tahun 1711. Dan jika dicermati (tapi hipotesis ini perlu dibuktikan lagi), daerah-daerah yang pernah menjadi shelter atau wilayah mukim warga Belanda di Indonesia banyak menjadi area tanam pohon kopi, termasuk Pengaron.
Namun, masalah kita adalah seberapa pedulinya kita terhadap petani kopi kita? Barangkali juga (tanpa bermaksud menuding dan menyalah-nyalahkan) seberapa tanggap pemerintah kita terhadap nasib petani kopi? Bayangkan saja, keprihatinan terhadap petani kopi negeri ini justru disuarakan pertama kali bukan oleh penduduk pribumi itu sendiri tapi oleh orang Belanda totok, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dalam bukunya Max Havelaar.
Bukankah masalah pertanian dalam negeri ini adalah masalah sama yang berlarut-larut selama negara ini berdiri. Tentang kenapa sampai hari ini petani-petani kita adalah salah satu kelompok masyarakat yang hidup dalam bayang-bayang kemiskinan dan ketidakberdayaan. Kenapa membeli dari petani dengan harga yang apresiatif itu adalah sesuatu yang enggan kita lakukan? Karena paradigma pribumi kita menganggap hasil tani adalah hal sepele yang tak sebanding misalnya dengan sepotong pizza di gerai pizza anu.
Yah, pada akhirnya tak perlu menjadi sosialis atau komunis untuk memikirkan nasib para petani, kita hanya perlu menjadi manusia yang peduli. Bukankah Allah telah menitipkan hati nurani pada kita salah satunya untuk itu, menjadi peduli. Maka ketika menyesap kopi di sebuah kafe dengan pendingin ruangan dan teman bicara yang menyenangkan pandangan, sekali-kalinya, kita juga bisa mencoba membayangkan petani-petani kopi itu dengan rasa takzim. Sambil berharap semoga itu memadai, meski kita tahu itu tidak.
Oleh: Dewi Alfianti 
foto: https://www.littlecoffeeplace.com/      

                      

No comments

close
pop up banner