Header Ads

Liberika Tanah Laut: Potensi Kopi yang Terpendam di Kalsel

SEKITAR lima tahun yang lalu, nyaris tak ada yang tau, jika Kalimantan Selatan juga memiliki kopi dengan varietas Liberika. Kopi dengan aroma manis dan rasa lumayan fruity ini ternyata telah lama tumbuh dan dijual di pasar-pasar tradisional, khususnya di daerah Kabupaten Tanah Laut. Belakangan kopi ini menjadi perbincangan menarik, oleh karena itu mari kita bahas dalam tulisan kali ini.
________________

2017 lalu, saya berkenalan dengan seorang anak muda, mahasiswa dari FEB Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Saya ingat betul, waktu itu sedang baru membuka kedai kopi kecil di bilangan Banjarmasin Utara. Di sebuah komplek yang teduh dan rindang. Anak muda ini kemudian menceritakan, kalau dia berasal dari Bati-bati, Kabupaten Tanah Laut. Dia bernama Agus Wijaya Cahyadi.
foto: https://badungkab.go.id/

Kami berbincang cukup asyik saat itu, sembari mencicipi Kopi Pengaron, yang saya jual saat itu. Kopi Pengaron juga merupakan kopi yang tumbuh di Kalimantan Selatan dengan varietas Robusta. "Di tempat ulun (saya) juga ada tumbuh kopi, ditanam sama Mbah," katanya kala itu.

Saya cukup bersemangat juga, dan memintanya untuk membawakan biji kopi yang tumbuh di daerah asalnya jika ia nanti kembali ke kedai. Benar saja, sekitar beberapa hari kemudian, ia kembali lagi dengan membawa sekantong biji kopi yang sudah disangrai secara tradisional ke kedai kopi saya. 

"Jadi ini kopi Bati-bati itu, ternyata di Kabupaten Tanah Laut juga ditanami kopi ya"
"Iya bang, ditanam sama Mbah, dan beliau biasanya jual ke pasar aja"

Saat itulah saya yakin bahwa kawasan Kabupaten Tanah Laut masih banyak terdapat kebun kopi liar skala kecil. Dari segi bentuk, kopi ini memang berbeda dengan kopi yang tumbuh di Pengaron, Kabupaten Banjar, ada yang ukurannya besar-besar, ada pula yang mungil namun lancip. Setelah pertemuan dengan Agus, saya kemudian bertemu lagi dengan Krisna. Anak muda satu ini ternyata juga mahasiswa FEB ULM dan berasal dari Kabupaten Tanah Laut, tepatnya di Kota Pelaihari.

Krisna saat itu pun menceritakan hasil perburuannya ke beberapa kawasan di Kabupaten Tanah Laut, dan ia menjumpai beberapa kebun kopi milik warga yang masih belum terkelola dengan baik. Seperti di daerah Bajuin dan beberapa daerah lainnya. Jenis kopinya sama: Liberika.

Mengutip dari laman Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung, Kopi Liberika memiliki nama ilmiah Coffea liberica var. Liberica. Kopi ini disebut-sebut berasal dari Liberia, walaupun ditemukan juga tumbuh secara liar di daerah Afrika lainnya. Kopi Liberika menjadi populer setelah dibawa oleh bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-19. Kopi ini dikembangkan untuk menggantikan tanaman kopi arabika yang terserang wabah penyakit karat daun. Namun upaya tersebut kurang berhasil. Saat ini Kopi Liberika ditanam secara terbatas di negara-negara Afrika dan Asia. Secara global produksinya jauh dibawah Kopi Arabika dan Kopi Robusta.

foto: https://badungkab.go.id/

Budidaya Kopi Librika tumbuh baik di daerah tropis dataran rendah dengan ketinggian 400-600 meter dari permukaan laut. Namun tetap bisa tumbuh dan berbuah hingga ketinggian 1200 meter. Suhu ideal pertumbuhannya ada pada kisaran 27-30ºC dengan curah hujan 1500-2500 mm per tahun. Jadi wajar saja jika kopi ini bisa tumbuh di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.

Varietas Kopi Liberika tidak banyak, yang populer diantaranya Ardoniana dan Duvrei. Pada tahun 2014, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslit Koka) melepas spesies kopi liberika dengan nama varietas “Libtukom” kependekan dari Liberika Tunggal Komposit. Libtukom merupakan varietas liberika pertama yang dianjurkan di Indonesia (data jurnalbumi.com).

di 2017 kami mencoba mengenalkan kopi dari Kabupaten Tanah Laut ini ke publik. Kami sediakan menu kopi filter Liberika di kedai kopi yang saya kelola bersama teman-teman. Responnya cukup bagus, namun tak sedikit yang ragu, apakah ini benar Liberika atau bukan?

Di 2019, saya mencoba melakukan proses sendiri terhadap kopi Liberika Bati-bati ini. Cherry merah kopi yang sudah dipilih (saya dapatkan dari Agus) coba saya proses secara natural. Saya jemur dan saya roasting sendiri. Semula saya juga sempat ragu, tapi setelah mencoba sendiri menyeduh kopi yang diproses dengan baik itu, sungguh menggembirakan.

Karena rasa yang didapat lidah saya cukup segar, clean dan fruity. Bahkan rasa asam cytrusnya lumayan kencang di tengah-tengah dengan rasa manis di awal. Ini tentunya bukan hanya soal rasa, namun juga mengenai potensi yang bisa dihasilkan oleh kopi ini. Saya rasa, petani kopi bisa menjadikan kopi sebagai tanaman utama. Karena jika mereka bisa menghasilkan green beans kopi yang bagus dan berkualitas, harga jual kopi mereka juga akan meningkat. Selain itu, ini juga bisa membantu meningkatkan perputaran ekonomi penduduk di daerah tersebut. Sehingga kesejahteraan suatu wilayah juga bisa meningkat. 


Saya bahkan bingung, apakah mereka tepat disebut petani kopi? Rasa-rasanya tidak juga, karena kopi juga bukan menjadi tanaman utama bagi mereka, masih sekadar sampingan. Kenapa? Hanya karena belum mengetahui nilai sebenarnya, jika kopi diperlakukan dengan benar dan baik. Padahal kopi mereka bisa meningkat hingga dua kali lipat harganya jika mereka bisa memprosesnya dengan baik.

Harapannya, pelan-pelan para penanam kopi bisa mendapatkan masukan positif dari pelaku industri kopi di Kalsel, apalagi pamor kopi Liberika dari Kabupaten Tanah Laut ini mulai menanjak. Sehingga lambat laun para penanam semakin mahir mengelola kopinya. Tidak kalah penting adalah menyadarkan para anak muda di daerah penanam kopi untuk kembali serius menggarap menanam kopi. Sehingga ada regenerasi dan stabilitas dalam distribusi kopi ini. (*)

Penulis: Syam Indra Pratama
*Jurnalis, penyangrai kopi rumahan


No comments

close
pop up banner