Header Ads

Sudah Saatnya Kopi Pengaron Naik Kelas

INI adalah kisah di tahun 2009 lalu. Kebetulan saat itu penulis mengunjungi Lhokseumawe, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kala itu, di perjalanan dari Medan menuju Lhokseumawe, penulis cukup tertarik dengan sajian kopi di salah satu warung pinggir jalan di kawasan itu. Kopi dicampur dengan telur dan penyajiannya lebih mirip seperti atraksi. Setidaknya, kopi seperti ini tidak ditemukan di Banjarmasin pada tahun tersebut.
___________
Ngopi di Sumatera Utara memang menjadi pengalaman mengesankan. Karena selama di Banjarmasin, kami menyeduh kopi dengan cara sederhana. Kopi bubuk dimasukkan ke dalam gelas, dan dituangi air panas. Di Sumatera Utara sungguh berbeda, kopi dituang dari atas ke bawah dan ditarik-tarik seperti teh tarik. Saat itulah, penulis mulai sadar, bahwa kopi tidak sekadar rasa, namun juga mengenai: pengalaman.

Penulis sempat ragu menyeruput kopi yang disajikan, karena kopi telah bercampur dengan telur. Benar-benar tidak biasa (bagi penulis) meminum kopi dicampur telur. Namun hal itu terbantahkan, saat seruputan pertama menyentuh lidah. Rasa legit, kental, dan manis serta aroma kopi yang wangi sungguh menyenangkan.

Setibanya di Lhokseumawe, penulis cukup kaget, saat mencoba ngopi di salah satu kedai pinggir jalan yang cukup ramai. Saat memesan kopi hitam, rasa pertama yang ada adalah asam. Jelas di tahun itu pengetahuan dan wawasan kopi tidak cukup banyak. Bahkan di tahun itu, media sosial seperti Facebook saja baru mulai ramai di Banjarmasin.

"Kopi apa ini, kok asem bang,"
"Wah ini kopi terbaik di dunia, kopi Aceh terkenal, rasanya memang seperti itu," kata abang penjual kopi.

Saat itu penulis baru tau, kalau ternyata rasa kopi tidak hanya pahit. Namun juga ada asam. Hal ini dikarenakan, selama ini terbiasa mengonsumsi kopi Robusta yang cenderung berbody kuat. Kemudian saat di Lhokseumawe, penulis juga berbincang-bincang dengan penduduk setempat. Kebetulan saat itu temanya juga membahas mengenai kopi. Lalu diceritakanlah mengenai kopi Aceh yang menjadi kebanggaan masyarakat, khususnya kopi Gayo.
foto: dok. Teras7
(Tempat penyangraian dan penggilingan kopi tradisional di Desa Jati, kawasan Astambul)

Hal ini kemudian membangkitkan ingatan kepada kopi bubuk yang biasa penulis temui di pasar tradisional. Waktu kecil, saat di Kota Martapura, penulis beberapa kali melihat kopi bubuk dimasukkan ke dalam bungkus plastik dan diikat dengan gelang karet. Harganya pun sangat terjangkau. Dari sana, kemudian mengambil kesimpulan, bahwa di Kalimantan Selatan juga ditumbuhi kopi.

Kopi Astambul dari Pengaron

Kopi bubuk yang dijual di pasar tradisional itu kadang juga dikenal dengan sebutan kopi Astambul. Karena biasanya kopi disangrai dan digiling di kawasan Astambul. Setelah coba ditelusuri lebih dalam, ternyata kopi dari daerah Astambul berasal dari daerah Pengaron. Sebuah kecamatan di Kabupaten Banjar, yang memiliki kondisi geografis agak berbukit-bukit. Di Kecamatan Pengaron sendiri terdiri dari 12 desa, yaitu Desa Pengaron, Panyiuran, Alimukim, Antaraku, Ati'im, Benteng, Lumpangi, Lok Tunggul, Lobang Baru, Kertak Empat, Lumpangi, Mangkauk dan Maniapun.


foto: dok.Banjarmasin Post
Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Perkebunan (Disnakbun) Kabupaten Banjar, pengembangan kawasan kebun kopi di kawasan ini ternyata sudah mulai dilakukan sejak 2016 dengan menggunakan dana APBN. 


Ada 20 hektare lahan yang dikembangkan menjadi kebun kopi secara terorganisir di Desa Lok Tunggul. Bahkan tahun ini (2019) akan ditambah lagi sekitar 10 hektare untuk ditanami kopi. Bukan hanya sampai di situ, nantinya direncanakan perluasan penanaman bibit kopi hingga kawasan Mataraman dan Aranio. Hingga tahun 2024, ditargetkan penambahan luasan kebun kopi hingga 300 hektare.


foto: dok. Redaksi8
Hal ini tentu menjadi angin segar bagi perkembangan kopi di Kalimantan Selatan. Namun, tentunya juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas dari kopi yang dihasilkan, sehingga bisa meningkatkan nilai dari kopi dan membantu menyejahterakan para petani kopi secara khusus. Berdasarkan pengalaman penulis mengunjungi kawasan Pengaron pada tahun 2018 lalu, kondisi kebun kopi memang masih belum begitu teratur. Para petani pun sebagian masih belum bisa membedakan varietas tanaman kopi.


Sebagai contoh, mereka menyebut kopi dengan kualitas baik sebagai Arabika, sedangkan kopi dengan kualitas yang kurang bagus sebagai Robusta. Padahal, kopi yang mereka sebut Arabika dan Robusta itu adalah kopi Robusta. Selain itu mereka juga memiliki sebutan tersendiri untuk tanaman kopi mereka, seperti kopi Kakao dan lain-lain. Tanaman kopi di sini pun sebagian sudah berumur tua.


Kopi Juga Perlu Payung Hukum

Ketika berbincang dengan salah satu petani kopi, beliau menceritakan, memang dari pihak pemerintah daerah sudah mulai turun membantu pengembangan kopi di kawasan Pengaron. Seperti dengan membagikan bibit kopi dengan kualitas yang baik. Ia pun menceritakan bahwa bibit tersebut kini sudah bisa dipanen dengan kuantitas yang lebih banyak. Mereka menyebut, bibit kopi itu dibawa dari dari daerah Aceh.

Pengembangan kopi Kalimantan Selatan sepertinya perlu gaung dari pihak eksekutif dan legislatif, karena tanpa adanya kebijakan dan regulasi sebagai payung hukum, pengembangan kopi di Bumi Sultan Suriansyah ini sepertinya akan melambat. Apalagi dalam Kepmentan Nomor 830/2016 tentang Lokasi Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional, Kalimantan tidak termasuk dalam kawasan pengembangan kopi nasional.

Mencontoh daerah Bondowoso misalnya, DPRD Bondowoso sudah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan dan Pengembangan Klaster Kopi. Payung hukum ini nantinya diperlukan agar lahan tanam kopi bisa tetap terjaga, serta membantu peningkatan pengelolaan distribusi kopi kepada buyer.


Pendampingan Pasca Panen


Kualitas kopi di Kalimantan Selatan, khususnya Kopi Pengaron bisa ditingkatkan, asalkan petani kopi memiliki kemampuan melakukan proses pasca panen dengan baik, setelah melakukan pemetikan dengan cara yang benar pula. Ada beberapa proses yang bisa coba dikulik dan diberikan pemahaman kepada para petani, seperti proses natural, full washed, semi-washed, hingga honey process.


Masing-masing proses mempunyai kelebihan masing-masing, sehingga petani bisa mencobanya sesuai dengan potensi yang ada dalam kopi. Termasuk, infrastruktur dan alat bagi petani dalam pengolahannya. Sepertinya mesin huller dan pulper untuk memisahkan biji kopi dan daging buah, dalam proses basah maupun kering.


Kondisi saat ini petani kopi di daerah Pengaron, mayoritas masih melakukannya dengan cara tradisional. Dengan menumbuknya menggunakan penumbuk lasung. Dampaknya, banyak sekali biji kopi yang rusak dalam tahapan ini, sehingga mengurangi nilai dan kualitas dari kopi mereka. Ujung-ujungnya, nilai jual kopi mereka juga ikut turun.

Petani kopi di daerah Pengarom sebenarnya bisa mencoba menggunakan proses basah (wash). Karena dengan proses ini, buah kopi berkualitas dan yang tidak bisa diseleksi terlebih dahulu saat perendaman. Meskipun agak boros air, proses ini lumrah dilakukan di daerah lain yang juga membudidayakan kopi sebagai tanaman utama.

Meskipun pada dasarnya, dengan proses natural (dijemur langsung setelah panen) memang akan berpengaruh pada citarasa kopi yang lebih khas. Namun mencoba berbagai macam proses juga tidak ada salahnya dilakukan. Belum lagi, bagaimana cara menyimpan green beans (biji kopi gabah) dan melakukan pengecekan kadar air pada biji kopi, tentunya ini soal lain yang juga harus diajarkan kepada para petani kopi. Mereka tidak bisa begitu saja menjual biji kopi mereka tanpa tahapan ini, jika memang ingin harga kopi mereka mengalami peningkatan.

Mengutip dari coffeeland.co.id, kadar air merupakan salah satu komponen kualitas kopi yang penting. Pada saat panen, kadar air biji kopi bisa diatas 60 persen dan harus diturunkan di kisaran 12 persen. Pada umumnya, penurunan kadar air dengan cara menjemurnya. Penjemuran bisa hanya 2 hari, atau bisa lebih dari seminggu, tergantung intensitas sinar matahari. Selain itu, teknik pascapanen kopi seperti pengolahan basah, semi basah dan kering, sangat mempengaruhi waktu pengeringan. Mengapa harus cepat dikeringkan? kalau tidak pada kondisi kadar air yang optimum, akan timbul jamur, dan diantaranya bisa mengandung ocratoxin.

Mempopulerkan Kembali Kopi Lokal


Ke depannya, masyarakat Kalsel setidaknya sudah banyak mengetahui bahwa di daerahnya juga ada ditumbuhi kopi. Saat ini misalnya (setidaknya saat tulisan ini ditulis) masih banyak masyarakat Banua yang tidak tau dengan kopi di daerah mereka sendiri. Mereka bahkan lebih kenal dengan kopi luar semacam Gayo Aceh, kopi Bali, Mandheling ataupun Toraja. 




Dengan adanya promosi mengenai produk kopi lokal dari Kalsel, diharapkan mampu meningkatkan kebanggaan kepada kopi lokal dari daerah sendiri. Sehingga permintaan terhadap kopi ini juga semakin meningkat. Harapannya juga tidak hanya sebagai kopi oleh-oleh saja, namun juga menjadi kopi specialty yang bisa diekspor ke luar negeri.

Dengan momentum tren kopi yang semakin meningkat seperti sekarang ini, tidak salah kiranya jika kopi di Kalimantan Selatan naik kelas. Sudah saatnya kopi lokal ini berkembang, setelah sekian lama kurang terasa gaungnya. (*)

Penulis: Syam Indra Pratama
-Jurnalis
-Penyangrai kopi rumahan

No comments

close
pop up banner