Header Ads

Berburu Formula Inovasi Industri Kopi di Masa "New Normal"

ilustrasi teknologi dan inovasi masa depan (foto:distime)
KITA memang tidak bisa memastikan kapan pandemi ini akan usai. Namun setidaknya, bisa memprediksi bagaimana industri kopi ke depan akan berjalan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana industri kopi di masa ini akan berubah dan bertahan. Faktor tersebut adalah inovasi dan teknologi. Dua faktor ini akan sangat mempengaruhi, di masa pandemi seperti sekarang. Mereka yang memiliki (atau) mulai bergelut dalam dua faktor ini, barangkali akan bisa bertahan. Bahkan bisa mempunyai kekuatan lebih saat pandemi telah usai. 

Inovasi dan teknologi adalah dua kata yang jarang bisa kita temui pada lini usaha yang hanya mengandalkan pola tradisional. Meskipun pada masa sebelum pandemi, mereka yang mengandalkan pola lama terlihat bisa bertahan dengan sangat baik tanpa teknologi dan inovasi. Bahkan ada yang menganggap gaya lama adalah kekuatan dan keunggulan yang harus dipertahankan. Namun, hal itu terbukti rapuh saat kondisi tetiba saja berubah. Mereka yang tak punya inovasi dan teknologi harus mengakui bahwa mereka terpukul oleh kondisi yang sampai saat ini belum bisa dijelaskan, bagaimana penyelesaiannya.

Hal itu pula lah yang terjadi pada industri kopi saat ini. Semua lini, baik di hulu hingga ke hilir. Semua seakan-akan terkejut dengan perubahan kondisi yang bahkan belum pernah terpikirkan sebelumnya. Mulai dari petani hingga para pelaku bisnis kedai kopi sangat merasakan imbasnya: penurunan omzet.

Mari Membaca Keadaan

Pada kondisi normal pria asal Karangploso bernama Girun, Kabupaten Malang bisa menyuplai biji dan bubuk kopi ke sejumlah wilayah seperti di Jakarta dan Malang dengan pendapatan kotor sepekan Rp2,5 juta.
"Kalau kondisi normal biasanya seminggu dapat Rp2,5 juta sekarang sama sekali tidak ada. Dijual per kilogram Rp100 Ribu untuk arabika dan robusta Rp60 ribu untuk biji kopinya. Sedangkan untuk bubuk arabika dijual Rp250 ribu per kilogram, sedangkan untuk bubuk robusta dijual Rp175 ribu," terang produsen kopi berlabel KopiLa ini (8/5/2020), dikutip dari Okezone.
Dengan estimasi tersebut lanjut Girun, dirinya mengalami kerugian hampir Rp32 juta karena bahan baku biji dan bubuk kopinya yang melimpah tapi tak ada pemesanan.
"Bahan bakunya banyak dan melimpah. Ya terpaksa kita konsumsi sendiri sama diberikan ke tetangga yang mau. Daripada kalau disimpan terus malah rusak bahan bakunya," bebernya.
Dari salah satu contoh kondisi di atas, barangkali kita bisa melihat sepintas bagaimana pandemi ini menghantam industri kopi sejak dari hulu. Hal ini lah yang menjadi tanda tanya, bagaimana industri in bisa bertahan dan tetap berkembang dalam kondisi ini?

Dalam sebuah tulisan di Destinasian, dikisahkan, tatkala Inggris terjangkit wabah pada 1665, Isaac Newton menghabiskan waktunya mengutak-atik rumus dan berhasil menelurkan kalkulus. Dua abad sebelumnya, terinspirasi pengalaman buruk Milan diserang pagebluk, Leonardo da Vinci merumuskan konsep kota masa depan yang lebih aman. Inovasi bisa lahir di kala pandemi. Asa tak padam di tengah mala. Mungkin karena manusia cenderung lebih fokus saat terkurung, seperti dalam kasus Newton, atau justru lebih ulet saat dijepit masalah, sebagaimana Da Vinci. Fenomena serupa tampaknya perlu terlihat sekarang. Di tengah PSBB global akibat Covid-19, para pelaku industri kopi perlu berkarya untuk menjawab kebutuhan dan tantangan kontemporer.
Menunggangi Teknologi
Masih banyak para pelaku industri kopi yang memilh bertahan dalam kondisi seperti ini. Bahkan mereka terlihat lebih gesit dan lincah dalam pengembanga produk dan gaya pelayanan terhadap pelanggan. Inilah yang diperlukan, adanya sebuah kelincahan yang didasari dengan riset dan perhitungan. Karena jika hanya sekadar lincah saja, jelas juga bukan hal yang baik. Dengan perhitungan yang bagus, kelincahan ini bisa menghasilkan sebuah keuntungan. 
Teknologi menjadi sebuah faktor yang tidak bisa kita hindari, jika kita ingin mempertahankan lini usaha kita pada industri ini. Mereka yang berhasil "menunggangi" teknologi dan kemudian mampu memutar cashflow, akan mempunyai potensi besar di saat pasca pandemi. Teknologi di sini adalah menggunakan kecepatan informasi maupun perangkat teknologi yang ada untuk menghasilkan, atau minimal mempertahankan cash masuk. Lalu ada yang bertanya, bagaimana caranya? Itulah yang harus anda jawab dan mempraktekkannya, bukan malah terus bertanya. Kita harus banyak belajar dan terus menemukan formula yang tepat, hingga akhirnya bisa menghasilkan solusi yang pas. Karena setiap lini usaha memiliki formula yang tidak sama.
Tidak bisa tidak, semua lini, baiki dari petani kopi, hingga para pemilik kedai kopi harus menggunakan teknologi. Pola lama sudah tidak bisa dipertahankan. Hanya menunggu pembeli, atau hanya menunggu kapan pandemi berakhir sepertinya adalah pilihan sulit. Kita harus belajar menggunakan teknologi ini, yang sebenarnya sudah memudahkan lini kehidupan kita selama ini. Hanya saja, kita belum terbiasa memaksimalkannya.
Jangan Remehkan Inovasi
Kopi sebagai salah satu komoditas yang punya potensi sebagai komoditas unggulan di masa pandemi ini . Dwiyanto, salah satu petani kopi yang berasal dari Kabupaten Malang, dan tergabung dalam Gapoktan Ngudi Makmur, menuturkan strategi bagaimana dapat bertahan di masa pandemi Covid-19, seperti dilansir dari suara.com 
Untuk menyiasati penjualan produk kopi, Dwiyanto berinovasi salah satunya dengan membuat produk fermentasi kopi dalam bentuk cair. Berangkat dari beberapa literatur tentang manfaat kopi sebagai salah satu suplemen kesehatan, ia memanfaatkan produk fermentasi kopi cair tersebut.
Awalnya hanya untuk dikonsumsi kalangan sendiri, yakni orang tua dan sanak keluarga di lingkungan rumah. Seiring dengan banyaknya testimoni tentang manfaat produk fermentasi kopi cair tersebut, saat ini, penikmat fermentasi kopi cair sudah meluas hingga keluar kota, bahkan pemesanan melalui media sosial bisa tembus sampai pulau Kalimantan.
Dengan metode penjualan yang tidak hanya mengandalkan sistem konvensional, dalam tiga bulan di awal tahun 2020, peningkatan omset naik berkisar 23,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2019, hingga mencapai 80 juta per bulan.
Seandainya petani yang satu ini tidak berinovasi dan menggunakan cara konvensional, jelas ia akan merasakan dampak menurunnya omzet selama pandemi. Hal ini juga yang sangat diperlukan oleh semua lini pelaku industri kopi di Indonesia. Agar bisa tetap bertahan dan berkembang selama masa pandemi. Tentu saja ini bukan hal mudah, namun jika tidak dicoba kita tidak akan pernah mengetahui bagaimana hasilnya.




No comments

close
pop up banner