Header Ads

Has the Revolutionary Spirit of Coffee Faded in the Tide of Modernity?

MELIHAT perkembangan industri kopi hingga tahun ini, rasa-rasanya ada sesuatu yang telah bergeser. Entah itu mengenai cara menyeduh kopi, menjadikannya komoditi bisnis, hingga pergeseran makna pada "ritual pribadi" menyeruput kopi itu sendiri. Pergeseran ini ada yang positif dan negatif. Namun tanpa disadari, kultur menyeruput kopi terasa kurang menunjukkan kebermaknaan. Setidaknya bagi saya. Ini adalah menurut (saya). 

Sejarah Kopi yang Bernilai

Orang-orang Ethiopia dari Afrika, yang dalam literatur sejarah Islam disebut sebagai Habasyah telah terbiasa mengonsumsi kopi yang dicampur dengan anggur dan lemak hewan sejak 800 Sebelum Masehi (SM). Budaya ngopi kemudian dibawa oleh orang-orang Arab Yaman. Mereka mendatangkan kopi dari Ethiopia, hingga akhirnya terbiasa mengonsumsi kopi sebagai minuman yang khas. Ini terjadi sekitar abad ke-10.
foto: wikicommon
Hal ini diperkuat oleh keterangan ilmuwan muslim seperti Ibnu Sina dan al-Razi, yang menyebutkan bahwa kopi telah dikenal oleh umat Islam di abad ke-10. Tidak seperti sekarang, kopi pada saat itu bukan sekadar minuman untuk menemani nongkrong sore sambil makan roti. Atau sebagai pelengkap kongkow dengan sahabat sambil membincangkan hal-hal yang dianggap menarik. Sama sekali berbeda.

Yang perlu kita garis bawahi adalah, minuman ini dibudidayakan dan diolah sedemikian rupa oleh rakyat Yaman. Minuman kopi populer dengan sebutan al-qahwa. Al-qahwa diminum oleh para kaum sufi agar bisa tetap segar dalam menuntut ilmu dan beribadah, terutama pada malam hari.

Kopi kemudian pada abad ke-16 diboyong ke Mesir oleh mahasiswa Yaman yang mengecap pendidikan di Universitas Al-Azhar Mesir. Dalam buku Umdat al-Safwa, Abdul Qadir al-Jaziri menuliskan, tentang sejarah kopi dari Yaman yang sampai ke Mesir. Para mahasiswa Yaman, seperti kebiasaan di negeri mereka, mengonsumsi kopi agar tetap bisa segar saat menimba ilmu di Mesir.

Segera saja setelah itu, kopi juga menjadi kian populer di Mesir, kopi menjadi ramai dijual di toko-toko dan menjadi minuman yang cepat dikenal. Pada urutan sejarah berikutnya, kopi kemudian baru menyebar ke Eropa dan Amerika, dan akhirnya menjadi minuman paling populer di dunia hingga saat ini.

Pergeseran Budaya Terjadi

Pada abad ke-16, kopi mulai merambah benua biru, Eropa. Pedagang dari Venezia, Italia membawa kopi dari Timur Tengah. Setelah itu, orang-orang Belanda juga membawa kopi yang didatang dari daerah Yaman, dan berusaha membudidayakan tanaman kopi, termasuk di daerah koloni mereka seperti Indonesia. Belanda pada saat itu bahkan menjadi pemain monopoli perdagangan kopi dan memainkan harga kopi. Produk unggulan mereka, tahukah anda? Produk kopi dari Indonesia yang ditanam di Jawa. Kopi dari Jawa akhirnya bisa bersaing dengan kopi dari negeri asal budaya ngopi yaitu Yaman. Kopi Jawa menjadi populer di dunia. Ini terjadi pada abad ke-17.

Orang-orang Eropa mulai membuka kedai-kedai kopi. Kopi mulai menggeser minuman keras yang biasa dikonsumsi oleh mereka. Tentunya ini membuat perubahan sosial di benua ini. Jika dengan mengonsumsi minuman beralkohol mereka tak bisa berpikir jernih dan sempoyongan, ketika kopi mulai ramai dikonsumsi, orang-orang Eropa mulai mengalami perubahan. Mereka terbiasa berdiskusi di kedai-kedai kopi, tentunya dengan segar dan tak dalam kondisi mabuk.

Mereka menjadi sering berkumpul (tanpa alkohol tentunya) dan berubah menjadi kegiatan yang mengarah lebih politis, ketimbang hanya berkumpul biasa. Informasi menjadi cepat menyebar melalui kedai-kedai kopi, dari perbincangan para pengunjung kedai-kedai kopi. Seperti disebut oleh sejarawan Prancis, Michelet, rutinitas dari kedai-kedai kopi ini pada akhirnya membuncah dalam sebuah Revolusi Prancis. Bukan main! Revolusi!

Dari minuman para penuntut ilmu, kemudian juga menjadi minuman yang memantik revolusi!

Sejarah memang telah berlalu, tanpa bermaksud meremehkan atau menyinggung (sekali lagi ini adalah pendapat pribadi), kini kopi menjadi komoditi yang "dipertarungkan" dalam segi bisnis dan waralaba. Rasa-rasanya, kedai-kedai kopi yang menjamur itu seolah menjadi sebuah wadah gado-gado. Orang-orang dari latar belakang yang beragam, bertemu. Ada yang sekadar untuk membaca, menyulut rokok, menggosip menjadi tak beraturan. Bahkan kadang, tak lagi digunakan untuk penyegar badan untuk menimba ilmu atau melakukan revolusi. Kini kopi rasa-rasanya, hanya minuman pelengkap yang dicampur susu dan sirup, lalu diminum dan kemudian gelas plastiknya di buang. 

Masyarakat Konsumen

Buah dari kapitalisme adalah munculnya masyarakat konsumen. Sistem ini kapitalisme akan bertumpu pada pasar, keuntungan dan uang. Konsumsi, pasar dan keuntungan menjadi semacam tak terpisahkan. Hal ini kemudian memunculkan apa disebut Herbert Marcuse sebagai ideologi konsumerisme. 

Seperti terjadinya asumsi bahwa makna kehidupan bisa didapat pada apa yang dikonsumsi, dan bukan pada mengenai yang kita hasilkan. Oleh karena itu, di masa kini seolah terasa wajar membeli secangkir kopi dengan harga mahal asalkan di gelas kertas atau di gelasnya ada logo brand tertentu. Hal itu membuat sang konsumen merasa telah menaikkan status sosial mereka. Kopi bukan lagi hanya untuk menyegarkan badan untuk menimba ilmu, namun juga bergeser sebagai alat menaikkan kelas sosial secara semu.

Jadi menurut Herbert Marcuse, ada semacam dorongan untuk menjadi kelas sosial tertentu dengan memakan makanan, pakaian dan lebih khususunya dengan membeli produk kopi tertentu. Di sinilah masyarakat konsumen menempatkan kopi dalam etalase berpikir, baik disadari maupun tidak. 

Pada dasarnya, sebelum datangnya era kekinian, kopi menjadi semacam aktivitas rumahan. Meskipun di beberapa daerah telah banyak berhamburan kedai kopi tradisional. Saat itu kopi belum menunjukkan status sosial seperti sekarang. Para pelaku industri kopi kemudian menyebutnya dan membaginya dalam beberapa gelombang (wave), gelombang pertama, kedua, hingga ketiga dan seterusnya.

Kini dengan gempuran kedai-kedai kopi espresso base, posisi kopi dalam sosial otomatis mengalami perubahan. Ngopi barangkali seolah dijadikan simbol modern, kebaratan, atau bahkan kekayaan. Tidak ada yang salah, tergantung bagaimana kita memaknainya. Di bawa ke ranah ekonomi atau sosial politik jelas akan mengalami dialektika yang berbeda pula.

Sekarang dengan gempuran budaya ngopi susu kekinian dengan campuran krimer atau susu segar, gula, sirup dan kopi, apakah anda masih merasakan semangat revolusi atau semangat penimba ilmu dalam secangkir kopi di kedai-kedai? Semoga masih ada. ()

REFERENSI:

https://historia.id/kultur/articles/kopi-yang-mengubah-eropa-PddlP

https://medium.com/@haflahd/kopi-dan-budaya-ngopi-masyarakat-modern-3c996cc95c8a






No comments

close
pop up banner