Header Ads

The Rise of Indonesian Robusta Coffee

DAHULU mayoritas kita, termasuk saya beranggapan bahwa kopi robusta hanya didominasi oleh rasa dark chocolate dan brown sugar. Hal ini karena kurangnya literatur dan wawasan yang dimiliki. Semua anggapan itu terpatahkan, setelah mencoba sendiri, bagaimana kopi robusta "kelas atas" alias fine robusta diseduh. Cita rasa fruity malah keluar, bahkan sempat membuat ragu. Apa benar ini robusta?

HUDES | Specialty Reading for Manual Coffee Brewers



Di tahun 2011, Adi W. Taroepratjeka dalam sebuah tulisan milik philocoffee project pernah menguraikan, kopi robusta bisa memiliki karakter rasa yang menarik jika proses penanaman dan pascapanennya tepat guna. 

Pecinta kopi bisa mendapatkan karakter fruity bahkan mentimun dan accidity pada robusta berkualitas fine. Misalnya, petik merah, sortasi dengan meminimalisir cacat sedikit mungkin. Hemat kata, kopi robusta jika diproses dengan baik, maka ia bisa memberikan citarasa yang menggoda keingintahuan.

panen kopi dengan teknologi modern. (foto: kavapupa)

Hal ini penulis buktikan sendiri saat mencoba menyangrai, dan menyeduh sendiri kopi robusta Tambora di daerah NTB. Kopi dari Tambora dikelola secara organik dan petik merah. Bahkan proses pasca panen sudah dilakukan secara baik. Saat menyeruput kopi robusta Tambora, keluarlah rasa fruity, bahkan acidity yang cukup jelas. Hal ini membuktikan, jika kopi robusta dikelola dengan benar sejak panen, pasca panen, hingga roasting, kualitas rasanya: menggembirakan!


Fine Robusta


Dari hasil analisa teman-teman dari philocoffee, gagasan mengenai fine robusta baru dikembangkan sejak 2009. Fine robusta merupakan nama penanda kualitas sekaligus gagasan dan seperangkat protokol dalam mencapai kualitas prima yang mampu diraih oleh kopi robusta, sebagaimana dengan gagasan speciality coffee pada arabika. Kopi robusta yang berkualitas paripurna itulah yang kelak disebut sebagai fine robusta. Dari segi skor, fine robusta pun serupa dengan arabika spesial, yakni di atas 80.


Proyek lepas-landas terhadap kopi robusta pertama kali diterapkan di Uganda. Alasan dipilih Uganda lantaran negeri itu tempat ulayat kopi robusta. Dikembangkan dan digagas pertama kali oleh Coffee Quality Institute (CQI) yang berkolaborasi dengan Uganda Coffee Development Authority (UCDA) dan didukung oleh USAID LEAD Project. 
Data dari katadata.id, menyebut bahwa Sumatera Selatan merupakan penghasil kopi terbesar di Indonesia. Menurut data Kementerian Pertanian, produksi kopi di provinsi ini mencapai 184.168 ton dan semuanya merupakan jenis robusta. Produksi tersebut sekitar seperempat dari produksi kopi nasional yang mencapai 722.461 ton yang terdiri atas 528 ribu ton jenis robusta dan 195 ribu ton arabika. Komposisi kopi robusta kurang lebih 83 persen dari total produksi kopi Indonesia dan sisanya 17 persen berupa kopi arabika.
Data ini memberikan gambaran, potensi kopi robusta di Indonesia sangat besar dan tidak bisa dianggap remeh. Bayangkan saja jika kopi robusta Indonesia, mayoritas telah menjadi fine robusta, tentunya akan sangat berdampak baik bagi roda ekonomi, khususnya petani kopi Indonesia.
Indonesia berada di urutan keempat negara pengekspor kopi terbesar di dunia, total ekspornya mencapai 660.000 ton per tahun. Ini cukup aneh, karena kita kalah dari Vietnam yang notabene, luasan tanamnya tak seluas Indonesia. Vietnam menjadi negara terbesar kedua penghasil kopi (khususnya robusta) dengan jumlah ekspor kopi per tahun mencapai angka 1.650.000 ton. Lebih dua kali lipat jumlah ekspor Indonesia.
Lebih mencengangkan lagi, dengan kualitas yang sama, harga kopi robusta vietnam dijual dengan harga lebih rendah. Jelas ini akan "menganggu" pasar kopi Indonesia, dan berdampak pula ke petani.
Memaksimalkan Kualitas
Lagi-lagi menurut Adi W. Taroepratjeka (maklum saja, beliau ini cukup fokus membantu pengembangan kopi fine robusta) ke depan, Indonesia bisa saja menjadi salah satu penghasil fine robusta terbaik di dunia. Namun hal itu bukan hal yang bisa dilakukan dalam semalam. Perlu banyak proses. Meskipun berkualitas, fine robusta harus menemukan pasar. Ini hanya satu dari sekian hal yang perlu dihadapi.
foto: kavapupa
Kepala Penelitian Kopi di Kew Royal Botanic Gardens Inggris, Aaron Davis di 2019 lalu menyebutkan, konsumen kopi global bakal menemui masalah kurangnya pasokan kopi, khususnya arabika. Perubahan iklim akan memaksa petani menanam species kopi yang lebih kuat, dan ini ada pada robusta. 
Jika Indonesia mampu berbenah dalam mengembangkan kopi robusta, maka bukan tidak mungkin, Indonesia bisa menjadi negara penghasil kopi terbesar di dunia, khususnya dalam produksi kopi robusta. Hal ini bisa difokuskan pada edukasi kepada para petani mengenai pengelolaan saat panen, pasca panen, distribusi dan roasting. 
Dengan peluang sebesar ini, barangkali kopi robusta jangan lagi ditempatkan sebagai kopi kelas dua setelah arabika. Kopi robusta barangkali bisa menjadi "masa depan" kapasitas produksi kopi Indonesia.

Kopi Robusta dan Perubahan Iklim

Negara-negara seperti Cina, Vietnam, Thailand dan Myanmar mulai sudah mengembangkan kopi fine robusta. Bukan tanpa alasan, potensi robusta dengan kualitas yang premium ini jelas punya kans besar. Mengingat tren konsumsi kopi yang juga terus meningkat.

Perubahan iklim secara global di masa depan juga menjadi tantangan bagi industri kopi hulu. Perubahan iklim menyebabkan penurunan produksi kopi secara global karena meningkatnya hama penyakit pada tanaman kopi. Hujan berlebih, suhu tinggi hingga kekeringan menjadi ancaman bagi kebun-kebun kopi, tak terkecuali di Indonesia.

Diprediksi hingga 2050 nanti, lahan tanam kopi akan berkurang hingga 50 persen, terutama untuk kopi arabika. Bahkan salah satu perusahaan waralaba kopi terbesar di dunia asal Amerikan saja mulai membeli dan berinvestasi pada kebun-kebun kopi, termasuk Indonesia. Mereka melakukan riset mengenai varietas kopi baru yang bisa bertahan dengan kenaikan suhu akibat pemanasan global.

Salah satu solusi dari masalah ini secara jangka panjang adalah memaksimalkan produksi varietas robusta sejak sekarang. Karena robusta cenderung lebih tahan terhadap kenaikan suhu dan hama penyakit ketimbang arabika. Beruntungnya lagi, jumlah produksi kopi Indonesia didominasi oleh robusta, bukan arabika.

Kita perlu melihat kembali hasil panen petani kopi Indonesia di 2017 lalu. Di tengah melajunya tren kopi gelombang ketiga dan menjamurnya kedai-kedai kopi, jumlah panen malah menurun karena tingginya curah hujan. Ini diduga sebagai dampak dari perubahan iklim. Total panen pada tahun itu hanya 20 persen dari biasanya.

Berhenti Menganggap Robusta adalah Kelas Dua

Mulai sekarang berhentilah menganggap kopi robusta adalah kopi kelas dua setelah arabika. Karena kopi ini pada kesimpulannya juga bisa menghasilkan rasa yang unik, bahkan fruity dan acid, jika cara panen, pasca panen dan roastingnya benar. 

Setidaknya kami bukan sekadar membual, karena kami telah merasakan dan mencobanya sendiri. Bagaimana kopi fine robusta tak kalah enak ketika diseruput. Paradigma bahwa kopi arabika adalah kopi terbaik adalah menyangkut selera. Namun tidak juga kemudian, mengabaikan protokol uji kualitas dan cita rasa kopi, hingga pada skor pada kopi itu sendiri.

Kopi robusta tetap harus masuk dalam uji kualitas dan uji citarasa itu, sehingga bisa dibuktikan bahwa kopi robusta dapat menjadi kopi unggulan di masa depan, terutama di Indonesia. Setidaknya sekarang sudah bermunculan beberapa kopi fine robusta di negara ini, seperti fine robusta Temanggung dan fine robusta dari Tambora, Nusa Tenggara Barat.

Kita tentunya berharap, pengelolaan kopi di Indonesia dapat terus teredukasi dengan baik. Tidak lagi serampangan seperti petik hijau lalu dijual. Tetapi hal ini tak bisa berjalan baik tanpa adanya niat dan dukungan dari pemerintah. Bagaimanapun juga petani perlu "pasar" untuk menjual kopi mereka. Jika seandainya kopi robusta Indonesia sudah benar-benar didominasi kopi fine robusta, maka akan dijual kemana? distribusinya bagaimana? Hal ini perlu campur tangan dari pemerintah sebagai pengelola negara.

Vietnam sebagai negara yang tak sebesar Indonesia saja mampu mengelola kopinya. Buktinya terpampang nyata, total produksi mereka dua kali lipat Indonesia. Bukan jumlah main-main, padahal Indonesia adalah negara pelopor penanam kopi sejak ratusan tahun lalu. Bukankah ini kedengaran agak ironi?

Sesekali menonton video di Youtube, saya melihat salah satu kebun kopi modern (bukan di Indonesia) dengan teknologi dan peralatan modern, mampu menanam bibit kopi serentak dengan semacam traktor khusus. Selain itu parameter panen dan pasca panen diukur secara detil, jelas hasilnya juga bukan sepele. Hal ini lah yang perlu dicontoh Indonesia. Sebagai negara yang dahulu kala pernah menjadi daerah penghasil kopi nomor wahid di dunia. Orang-orang bahkan menyebut kopi sebagai: cup of Java. (hudes)

No comments

close
pop up banner