Header Ads

Koffee in The Sky, a Serene Indonesian Coffee Stand Tucked Away in a Corner of Kyoto, Japan

MENYEDUH kopi, berinteraksi dengan tamu yang datang, menyapa, dan sesekali membincangkan hal menarik memang menyenangkan. Di kala deretan coffeeshop berebut menawarkan kecepatan dan nuansa latar tempat, perantauan Indonesia di Jepang ini memilih membangun cara berbeda. Ia merintis kedai kopi Indonesia di Kyoto, Jepang.

HUDES | Specialty Reading for Manual Coffee Brewers

Koffee in The Sky, nama yang cukup panjang untuk sebuah kedai kopi to go. Terlihat rumit, namun siapa sangka, Willy Rachmat, sang empunya kedai kopi ternyata mempunyai filosofi tentang nama itu. 

Nama Koffee in The Sky yang menyajikan seduhan kopi-kopi Indonesia ini ternyata dipilih karena letak kedai yang berada satu atap dengan bar milik seorang Jepang bernama Sora. 
Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, Sora berarti langit. Jadilah makna dari kedai kopi mungil yang terletak di Kyoto Jepang ini Koffee in The Sky. Maksudnya adalah: kopi di dalam tempatnya Sora. "Sebenarnya sih ada makna yang lebih dalam, yaitu harapan setinggi langit. Bermimpilah setinggi langit," kata Willy dalam sebuah vlog.  

Willy sebenarnya adalah seorang tour guide di negeri sakura itu. Namun pandemi membuat semua jadi berubah. Wisatawan dari luar Jepang urung datang, otomatis profesi sebagai tour guide juga terpukul. Ia pun memilih tak menyerah, dengan peralatan seadanya yang ia miliki di rumah, Willy memulai kedai kopinya.
Unik memang, karena pada awalnya, alat yang ia gunakan sangat sederhana. Misalnya saja grinder. Ia menggunakan alat semacam blender kecil, meskipun sekarang sudah menggunakan grinder sejenis N600.

Interaksi yang Memukau

Meskipun kecil, kedai kopi ini punya "tenaga" cukup besar dalam seni "menghargai" tamu yang datang membeli hasil seduhan. Tak ada mesin espresso, hanya ada dripper semacam v60, kalita, scale dan kettle pemanas air. 

Semua dilakukan serba manual, hingga proses menyangrai kopi. Ya, Willy menyangrai sendiri kopi yang ia jual. Bukan dengan alat roasting Probat atau William Edisson, tapi dengan alat sederhana seperti teflon keramik.
Willy punya keahlian dalam berbahasa, ia bisa tiga bahasa sekaligus, Indonesia, Jepang dan Inggris. Entahlah jika ada bahasa lain yang ia kuasai, yang jelas bahasa Jepangnya sudah seperti orang Jepang asli. Maklum saja, ia sudah di Jepang sejak 2002. 

Ketika tamu datang, mereka disambut dengan sangat ramah. Willy tampaknya tak mau membiarkan tamu yang datang menunggu hasil seduhan terdiam dan tak diajak berbincang. Segala macam tema bisa jadi bahan perbincangan, tak melulu soal kopi. Bisa film hingga mengenai kondisi Jepang terkini. 

Selain itu, ia juga sebisa mungkin menjelaskan mengenai kopi yang ia seduh. Misalnya saja tentang takaran air, gramasi, beans, hingga keunggulan es kopi buatannya. Dengan kondisi kedai yang tak melayani minum di tempat, jelas hal ini jadi menarik. Tamu yang datang serasa jadi tamu spesial. Perasaan seperti ini jarang didapat pada coffeeshop modern.

Buka Tiap Akhir Pekan

Di awal pandemi, Willy memang sempat membuka kedainya nyaris tiap hari, dari pukul 11 pagi hingga empat sore. Namun belakangan, ia sudah mendapatkan job di sebuah perusahaan game, sehingga kini hanya buka di akhir pekan. Kopi yang disajikan tetap sama: kopi Indonesia.

"Cukup susah kalau mendatangkan biji kopi Indonesia langsung dari Indonesia, karena ada aturan yang gak ngebolehin. Jadi aku beli beans dari sini saja, tapi tetap beans Indonesia dan diroasting sendiri," tuturnya.

Selera kopi di Jepang, menurutnya, kebanyakan tak terlalu suka dengan kopi yang terlalu asam. Oleh karena itu, ia mencoba mencampur kopi arabika dengan robusta, agar cita rasa yang dihasilkan bisa sesuai dengan selera tamu yang datang. Menariknya, ia juga membuat vlog mengenai kegiatan jualan kopi di Jepang. Di Youtube kita bisa melihat bagaimana keseruan menyeduh kopi dan berbincang dengan tamu yang datang di channel Willy Rachmat. ()

sumber foto: Youtube channel willyrachmat

No comments

close
pop up banner