Header Ads

The Story of Reyhan and His Coffee Grove

"Kalau kau terus mengutak-atik besi-besi itu saban hari, nanti warga kampung akan menjadi-jadi. Abah terus terang malu, karena kau ini sarjana teknik mesin. Buat apa kau mengumpulkan besi bekas dan membuat sesuatu yang tidak jelas itu di kampung. Sebaiknya carilah kerja di kota, abah menyekolahkan kamu supaya kamu bisa sukses, atau ya barangkali bisa jadi PNS lah, Bukan untuk menganggur di kampung ini."

------‐--------------------------------------------------------------

Oleh: Syam Indra Pratama

------‐--------------------------------------------------------------

Lelaki dengan rambut keriting dan brewok tipis itu menasihati anaknya, sambil menyeruput secangkir kopi hitam di cangkir keramik putih bergambar bunga mawar. Dipandanginya Reyhan dengan tatapan aneh sekaligus kasihan. Karena setelah lulus dari Fakultas Teknik Mesin di universitas terpandang di kota, Reyhan pulang ke kampung, menganggur dan saban hari mengumpulkan besi bekas lalu membuat sesuatu di belakang rumah dengan besi-besi itu. Maklum saja, ayah Reyhan adalah pekerja keras, tiap hari ia bertani, mengolah ladang dan mengontrol kebun kopi miliknya yang tak seberapa luas. Ia merasa anaknya kurang cekatan seperti dirinya. 

Ada hal lain yang membuat ayah Reyhan kesal, karena tiada hari yang dilalui Reyhan, setelah bergelar sarjana tanpa menatap layar gawainya. Hampir lima jam sehari ia hanya memandang layar gawai, menonton video yang entah tentang apa. 

Hampir setiap hari pula ayahnya menasihati Reyhan, agar tidak buang-buang waktu hanya bermain dengan gawainya. Gawai dengan merek dari Korea itu didapat Reyhan saat memenangkan lomba mahasiswa berprestasi, dua tahun lalu. Beruntung di desanya kini internet sudah bisa diakses dengan lancar.

"Ayo bantu abah menumbuk buah kopi yang sudah kering ini, kita perlu cepat, karena pengepul akan datang bulan depan membeli biji kopi dari kebun kita Reyhan," katanya, mengusik Reyhan yang tampak terlalu serius dengan tumpukan besi-besi.

"Iya bah, setumat lagi," ujar Reyhan sambil membereskan sisa-sisa potongan besi yang sudah ia potong dengan alat-alat pinjaman dari temannya di kota. Dipandanginya kerangka-kerangka besi itu, sembari mengingat-ingat nasihat dari ayahnya.

"Apakah kuikuti saja kata Abah itu?" Reyhan bergumam dalam hati. "Tidak, ini harus aku selesaikan."

***

"Apa kau lihat si Reyhan itu, sudah sarjana, balik ke kampung kerjaannya main hape dan mengumpulkan besi, kasihan Abahnya sudah menyekolahkannya jauh ke kota. Eh sekarang kerjaannya tidak jelas," ujar Amang Badron, memulai percakapan di warung Acil Imah.

"Harusnya inya itu mencari kerjaan di kota, mendaftar PNS atau apalah. Buat apa jadi sarjana, toh bulik  ke kampung menganggur jua," ujar Acil Imah membalas percakapan yang tampak menghangat di warung. 

"Anakku hanya lulus SMA, tapi sekarang dia bekerja di kota, menjadi penjaga toko di Mall. Gajinya lumayan. Kalau di kampung ini saja, ia hanya akan jadi petani seperti kita, iya kan?" kata Amang Badron memperuncing perbincangan mengenai Reyhan, sambil menyesap rokok kretek dalam-dalam. Bara memerah diujung rokok semakin jelas terlihat. Asap rokok terus mengepul liar dari mulutnya yang lebar.

***

"Abah, berapa hasil panen kopi Abah musim ini?" tanya Reyhan kepada ayahnya, sambil menatap gawainya.

"Sekitar 300 kilogram, itu pun pengepul hanya memberi harga Rp25 ribu per kilonya. Menumbuk buah kopi 300 kilogram dengan lesung ini melelahkan sekali. Mungkin musim depan Abah tebang saja pohon kopi kita dan menggantinya dengan pisang. Lebih menguntungkan," tutur Abah setengah mengeluh.

"Ku lihat di internet, biji kopi di daerah lain dihargai sampai ratusan ribu per kilo Bah."

"Kau terlalu banyak main hape, sudah bantu Abah menumbuk buah kopi kering ini," cetus Abah sambil menumbuk kopi dengan nada menggerutu. Keringat mengucur dari rambut keritingnya itu. Urat-urat di tangannya yang kekar menunjukkan bahwa menumbuk kopi bukan pekerjaan yang cukup ringan.

****

Matahari sudah sangat terik, bada salat dzuhur Reyhan duduk di teras rumah sambil membuka gawai. Teras itu dipenuhi buah kopi yang sudah mengering karena dijemur sebulan lebih hingga nyaris menyentuh bibir jalan kampung. 

Dibukanya aplikasi Al Qur'an dan melanjutkan ayat yang tadi subuh sudah dibacanya. Posisinya sudah hampir di beberapa ayat terakhir surah Al Ankabut. Suaranya lembut dan tenang, ketika sampai pada ayat terakhir, Reyhan mengulang-ulang terjemahan dari ayat tersebut. Matanya berbinar dan kulitnya bergetar saat membaca. 

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik."

Reyhan teringat nasihat Kyai Nuzul saat dia masih berada di pondok waktu kecil. Nasihat itulah yang sangat membekas dalam hatinya hingga saat ini. Sewaktu Reyhan berkeras ingin pulang karena merasa tak sanggup tinggal di pondok dan sama sekali belum bisa membaca Al Qur'an dengan lancar. Ia merasa menjadi anak yang bodoh. 

"Nak, Allah berbicara kepada kita di dalam Al Qur,an surah Al Ankabut ayat paling ujung. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh berjuang di atas jalan Allah. Maka Allah akan berikan pentunjuk kepada hatinya. Kalau Allah sudah beri petunjuk semua akan lapang. Nak Reyhan sudah sungguh-sunguh belum? Berusahalah lebih keras dari teman-temanmu, nanti Allah beri petunjuk," kata Kyai Nuzul saat itu.

Sejak saat itulah, Reyhan habis-habisan belajar membaca Al Qur'an. Di kala teman sepondoknya rehat dan bercakap saat waktu istirahat, Reyhan malah memilih mengulang-ulang bacaan Al Qur'an sambil memegang buku pelajaran tajwid. Setelah berjuang degan totalitas, entah mengapa ia begitu mudah belajar, hingga sangat fasih membaca Al Qur'an dengan makharijul huruf dan tajwid yang tepat.

"Besi-besi ini harus aku selesaikan dengan sungguh-sungguh," kata Reyhan kepada tumpukan rangka besi yang sudah mulai dirakitnya. Ia pun kembali mengingat nasihat Kyai Nuzul.

***

Secangkir kopi hitam kental telah habis diseruput, ditemani kue roti baras manis. Dengan sarung bergaris hijau gelap dan hijau muda, sambil bertelanjang dada, ayah Reyhan mencium-cium buah kopi robusta yang telah mengering. Diperiksanya satu-per satu, sembari membuang ranting dan daun yang terikut saat panen di kebun kopi miliknya.

"Apakah harus kutebang saja pohon-pohon kopi itu. Hasilnya tak seberapa dan melelahkan. Apa lebih baik kutanam pisang atau jengkol saja di sana?" katanya dalam hati. Tangannya masih mengurai buah-buah kopi supaya rata dijemur, aroma manis fermentasi cukup terasa.

"Ini sudah aku tumbuk sekitar 30 kilogram Bah. Besok aku lanjutkan lagi menumbuknya. Kulihat banyak biji kopi yang pecah Bah," kata Reyhan datang dari dalam rumah mendatangi ayahnya di teras.

"Sudah lah, pengepul tak peduli dengan bentuk biji kopi itu, meskipun pecah atau tidak harga tetap sama Rey. Musim depan sepertinya Abah akan tebang pohon-pohon kopi di kebun kita, menggantinya dengan pisang dan jengkol saja."

"Apa Abah tidak ingat pesan nenek dulu. Kakek berpesan kepada nenek agar kebun kopi itu tidak pernah diganti dengan tanaman lain Bah."

"Iya Abah ingat. Kau memang paling ingat dengan pesan nenekmu itu, ya sudah lah aku pikirkan lagi," jawab ayah Reyhan sambil menarik sarungnya yang sudah agak melorot.

***

Setiap hari dari belakang rumah Reyhan tampak berisik dengan suara benturan besi dan palu, serta cahaya las yang mencolok. Tak jarang sampai hampir senja pun bunyi palu beradu dengan besi, serta bunyi gemeretak besi terdengar cukup berisik. Di kampung yang cukup sunyi dari hingar bingar lalu lintas, suara itu bisa terdengar hingga nyaris 100 meter.

"Cil pian melihat lah kelakuan si Reyhan anak Mang Ancah itu? sudah setengah tahun pulang ke kampung ini, masih saja menganggur, sekarang semakin aneh. Bukannya cari kerjaan, malah mengumpulkan besi dan tiap aku lewat depan rumahnya, kerjaannya main hape saja," kata Amang Badron, pelanggan setia warung Acil Imah membuka perbincangan sambil mengaduk kopi dicangkirnya. Suara gemerincing gelas kaca dan sendok besi terdengar melenting-lenting.

Tiba-tiba saja suara agak keras memotong percakapan di warung papan kayu beratap sirap dengan luas sekitar lima kali tujuh meter itu. "Urus saja dirimu itu, tak usah urusi anak orang lain Badron!" cetus ayah Reyhan yang baru datang dan mendengar ucapan Amang Badron.

Rupanya ciut juga nyali Amang Badron, meski berbadan lebih besar. Ia hanya diam sambil kembali menyecap kopi hitam, seolah tak terjadi apa-apa.

Ayah Reyhan yang berniat membeli sebungkus nasi masak habang pun urung. Ia terlampau kesal. Tak banyak kata, ia langsung bergegas pulang dengan langkah yang lugas dan cepat. "Harusnya aku beritahu Reyhan untuk berhenti dengan rangka besi aneh itu. Bikin malu orangtua saja!" gumamnya sambil berjalan.

***

"Reyhan!!" ujar ayahnya setengah berteriak.

Dicarinya Reyhan ke belakang rumah, di sana ia melihat Reyhan memasang rangka besi dan beberapa perintilan besi sambil sesekali melihat video di layar gawai. Setelah kejadian di warung Acil Imah tadi, ayah Reyhan tampak emosi. 

"Sudah berhenti saja dengan besi-besi tak berguna itu, cari kerja sana di kota."

"Sabar Bah, kenapa Abah tiba-tiba berucap seperti itu."

"Kau tak dengar, orang-orang kampung sudah mulai membincangkanmu. Aku malu, selama ini aku diamkan saja, tapi tidak untuk hari ini."

Reyhan meletakkan kacamata las dan sarung tangannya. Kemudian ia mengambilkan air minum untuk ayahnya. "Minum dulu Bah, mungkin Abah lagi emosi, Reyhan akan buktikan, insya Allah tiga hari lagi Bah, mungkin orang kampung nanti akan berterima kasih dengan Abah," terang Reyhan.

Setelah minum air putih, ayah Reyhan terlihat lebih tenang. Nada suaranya tak setinggi sebelumnya. "Berterima kasih bagaimana? aku tak paham dengan jalan pikiranmu. Ah sudah, bikin pening saja. Kau terlalu berkhayal!"

Selain kejadian di warung Acil Imah, rupanya ayah Reyhan juga agak emosi karena hasil panen kopi di kebunnya musim ini mencapai 300 kilogram lebih. Sayangnya, kemungkinan hanya sekitar 100 kilo saja yang bisa dijual karena ia dan Reyhan tak mungkin bisa menumbuk buah kopi yang nyaris sepertiga ton itu. Otomatis, pendapatan tambahan tak bisa dikantongi. Bahkan pengepul belakangan menurunkan harga beli, dengan alasan juga membeli kopi di daerah lain. 

Hal ini juga dialami warga kampung lain yang juga menanam kopi, karena itulah sekarang jumlah pohon kopi merosot di kampung Reyhan. Sebagian malah sudah mengganti pohon kopi dengan pisang dan jengkol karena dianggap lebih menguntungkan. Anak-anak muda di kampung Reyhan juga tak ada yang mau meneruskan berkebun kopi. Mereka memilih bekerja di kota atau berdagang. Mungkin hanya Reyhan, anak muda di kampungnya yang mau meneruskan berkebun kopi. 

***

"Bisa apa anakmu itu, pengangguran dan pengumpul besi bekas."

Suasana di depan pos kampung memanas. Amang Badron sepertinya tak terima dengan perkataan ayah Reyhan tempo hari lalu dan saat berselisihan di depan pos kampung ia tiba-tiba mengucapkan kata-kata itu. Jelas saja perkelahian bakal terjadi, ayah Reyhan sudah memasang kuda-kuda. 

"Lihat saja Badron, kau akan tarik kata-katamu itu. Sekali lagi kau meremehkan Reyhan akan kuhajar wajahmu."

"Cuiih. Anakmu itu hanya sampah masyarakat, di kampung sini semua anak muda mencari kerja di kota. Dasar tak berguna, aku yang akan menghajarmu duluan," balas Amang Badron. Tak terelakkan baku hantam terjadi, satu pukulan melesat nyaris mengenai wajah ayah Reyhan, namun tendangan lurus melesak lebih dulu ke perut Amang Badron. 

Hampir saja Amang Badron bakal kena pukulan lagi, namun warga kampung berhasil melerai.

***

Setelah kejadian perkelahian itu, kabar mengenai Reyhan semakin menyebar luas. Ia dianggap sebagai biang masalah keributan antara ayahnya dan Amang Badron. Apalagi Amang Badron ternyata salah satu tokoh di kampung. Ia punya kebun kopi paling luas di kampung itu. Ayah Reyhan yang mendengar hal itu pun semakin tak nyaman. Belakangan ia memilih tak banyak keluar rumah.

***

"Mana janjimu itu Reyhan? Kau bilang akan menunjukkan kepada Abah hari ini. Bahwa nanti orang kampung akan berterima kasih kepada Abah? Kau sudah tau sendiri, aku sampai baku hantam dengan si Badron." kata ayah Reyhan.

"Ikut aku Bah ke belakang."

Ditunjukkannya tiga kerangka besi lengkap dengan mesin motor penggerak di belakang. Selain itu Reyhan juga menumpuk buah-buah kopi kering hasil panen dalam wadah besar. 

"Buat apa ini? Mau apa kau?"

Dengan gesit Reyhan menyalakan tombol di rangka besi yang dilengkapi mesin pemutar bergerigi. Dimasukkannya buah-buah kopi kering dengan ember, sekali masuk bisa langsung 10 kilogram. Dengan tiga mesin yang dibuatnya, bisa 30 kilogram sekaligus. Dalam satu jam mesin itu ternyata bisa mengupas buah kopi kering hingga 300 kilogram.

Melihat pemandangan itu ayah Reyhan terheran-heran. Pengupasan buah kopi yang biasanya dikerjakan berhari-hari untuk seratus kilogram, bisa dikerjakan hanya satu jam oleh rangka besi yang kini menjadi mesin itu. 

"Dari mana kau bisa membuat alat ini Reyhan?"

"Dari sini Bah," jelas Reyhan sambil menunjuk Gawainya. 

"Aku menonton video cara membuat mesin pengupas buah kopi kering dan mesin sangrai Bah di hape. Komponennya sudah aku kumpulkan selama ini, selain itu berapa unit motor penggerak aku beli dengan uang tabunganku selama kuliah."

Reyhan kemudian menunjukkan kepada Abahnya mesin sangrai kopi berkapasitas tiga kilogram sekali sangrai. Meski sederhana, alat itu sudah seperti alat sangrai sesuai standar. "Dengan alat sangrai ini, kita tak perlu lagi menjual biji kopi kita pengepul Bah. Kita sangrai sendiri, semua sudah kupelajari di internet. Harga kopi kita bisa jauh lebih mahal Bah. Abah tak perlu menebang pohon kopi untuk diganti pisang. Kita ganti tanaman lain dan menanam kopi lebih banyak Bah," urai Reyhan panjang lebar.

"Masya Allah Reyhan, abah tak menyangka bisa seperti ini," kata ayahnya sambil merangkul bahu anaknya itu.

***

Reyhan duduk di teras rumah. Bersandar di kursi rotan yang memudar. Diingat dan dibacanya lagi ayat penghujung surah Al Ankabut yang telah dihafalnya. 

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik."

***

No comments

close
pop up banner