Header Ads

DIGITAL LOCAL COFFEE MOOSEUM BY HUDES

Selamat datang di museum digital HUDES. Kami mencoba mengumpulkan arsip, data dan foto mengenai sejarah kopi di Indonesia. Tak hanya itu, kami juga berupaya mengumpulkan informasi kultur budaya kopi di Nusantara. Selamat berkunjung di museum digital sederhana ini.
Sejarah Kopi di Dunia

KATA “kopi” dalam bahasa Arab disebut “qahwah” yang memiliki arti “kekuatan”. Kata qahwah ini kemudian berubah dalam berbagai bahasa menjadi “Qahveh” (Turki), “koffie” (Belanda), “coffee” (Inggris) dan “kopi” (Indonesia). Dalam istilah masyarakat Hadrami atau Arab Yaman disebut Qohwa, namun bila dilisankan mereka senang menyebutnya dengan nama Gahwa.

PERADABAN atau kebudayaan “ngupi” ternyata punya akar panjang dalam sejarah Islam. Tidak seperti teh yang merupakan minuman-rumah atau minuman-keluarga, kopi adalah minuman sosial. Sebelumnya minuman-sosial adalah khamr, minuman beralkohol yang dibuat melalui fermentasi sehingga memabukkan. Makkah dikenal sebagai kota produsen khamr terbaik bahkan setelah larangan meminum khamr diterapkan. Sampai abad ke-10, Mekkah tetap memproduksi khamr untuk ekspor.

Sejarah Kopi, dalam kebudayaan masyarakat Arab, khusus untuk orang Yaman (Hadrami), kita akan menemukan catatan sejarah yang menarik. 

Konon, walaupun biji kopi dikatakan ditemukan di Ethiopia (Abessyenia), namun budidaya biji kopi dalam perkebunan luas ada di daerah Yaman, setidaknya sejak abad ke-6 Masehi. 

Dalam tradisi lisan masyarakat Hadramaut, kopi konon ditemukan oleh as-Syaikh Ali bin Umar Asy-Syazili atau yang lebih dikenal dengan Syekh Asy-Syazili saja, seorang wali yang makamnya dianggap keramat di Mocha. 

Menurut as-Syaikh Najm al-Ghazy yang mula-mula menjadikan biji kopi sebagai bahan campuran minuman adalah asy-Syaikh Abu Bakr bin Abdillah as-Sadzily yang juga dikenal dengan julukan al-Aydrus. Itulah sebabnya terkadang bila meminum kopi orang Arab di Hadramaut senang mengenangnya, karena sang Syaikh dianggap orang yang menemukan cita rasa kopi sebagai sebuah minuman.

Kopi kemudian menjadi minuman penting, setelah orang Arab menemukan cara yang pas untuk menyajikannya. Bisa dikatakan, orang Arablah yang merevolusi cara menyajikan dan menikmati kopi. Sebelumnya kopi dinikmati tidak dengan cara diseduh untuk minuman, melainkan dimakan dengan cara dibungkus dengan lemak binatang.

Ada semacam tradisi unik di kalangan masyarakat Hadramaut tempo dulu. Di sana kopi biasanya dinikmati di antara dua waktu makan. Biasanya bila seorang hendak berkunjung ke rumah salah seorang sahabat atau bila ada tamu yang datang, maka diadatkan untuk membawa beberapa biji kopi di dalam sorban atau dalam radi. Sang tuan rumah akan mengumpulkan biji-biji kopi tersebut, untuk dinikmati bersama.

Tak butuh waktu yang lama, kopi akhirnya menjadi semacam minuman kesukaan orang Islam. Konon di mana ada agama Islam disebarkan baik di wilayah Turki, negara-negara Balkan, Spanyol, maupun Afrika Utara dan Asia, kopi juga ikut tersebar. Sehingga sempat timbul semacam pelabelan bahwa kopi itu minumannya orang muslim.

Dari kebiasaan minum kopi beberapa komunitas tarekat di Yaman sejak pertengahan abad ke-14, beberapa orde Sufi menyajikan hidangan minuman kopi terbaik untuk menarik jamaah mendatangi diskusi-diskusi yang mereka selenggarakan di malam hari. Para pelancong dan pendatang asing yang datang ke Yaman atau mampir di kota itu untuk perjalanan haji, tertarik dengan kebiasaan itu. Mereka akhirnya ikut berpartisipasi untuk menyediakan jenis-jenis kopi terbaik dari segala penjuru, dan memperkenalkan cara-cara baru memasak kopi. 

Terus saja, budaya minum kopi mengalami inovasi sehingga secara perlahan-lahan menjadi alternatif terhadap kebiasaan minum khamr yang belum sepenuhnya lenyap di kalangan masyarakat Arab. Inovasi-inovasi kegiatan ngopi ini juga akhirnya menciptakan komunitas yang mengasyikkan, menjelang shalat malam berjamaah.

Suatu saat, ketika jamaahnya datang ke Makkah di musim haji dan mempraktekkan kebiasaan baru ini, minuman kopi menjadi makin terkenal — meski sempat menimbulkan kontroversi ketika Gubernur Makkah melarangnya dengan alasan-alasan politis. Sang Gubernur takjub sekaligus curiga, orang-orang yang berkumpul minum kopi bersama-sama sambil mendiskusikan banyak hal itu bisa menimbulkan persekongkolan untuk menggulingkan kekuasaan. Gubernur melaporkan perkumpulan kopi itu kepada Sultan Mamluk di Cairo. Isu minum kopi menjadi isu yang panas.

Melalui perdebatan panjang yang melibatkan pakar-pakar fiqh, hakim/qadi, para dokter, dan pemimpin-pemimpin politik di seluruh dunia Muslim, minum kopi akhirnya bukan hanya dianggap halal tetapi justru dianjurkan karena dinilai bermanfaat untuk pencerahan spiritual — melalui jalan “markaha,” yakni persekutuan deliberatif untuk berkumpul dan berbicara tentang kebaikan dalam persaudaraan dan persahabatan.

Fatwa halal kopi membuat kota-kota Muslim pada tahun 1453, seperti untuk pertama kali Turki dengan membuka kedai kopi bernama Qahveh dan kedainya disebut Kiva Han.  Kemudian menyusul Konstantinopel, Bagdhad, dan beberapa kota di India dan Iran, menyediakan kafe-kafe publik perhelatan kopi. Para Sultan juga mulai tergila-gila pada kopi sebagai minuman bergengsi. Di istana-istana mereka dibuat tempat khusus untuk minum kopi.

Dalam literatur medis kaum muslim, ada beberapa ilmuwan Islam menulis tentang minuman kopi ini. Sebut saja diantaranya Al-Razi di abad ke-9, menjadi orang pertama yang menyebut kopi dalam tulisannya dengan memasukkan kata bunn dan sebuah minuman bernama buncham, dalam ensiklopedi tentang zat-zat yang dipercaya menyembuhkan penyakit. Sayangnya, karya ini telah musnah tak ditemukan lagi. Sementara pada abad ke-11, Ibnu Sina mengatakan bunchum dapat “membentengi tubuh, membersihkan kulit, dan mengeringkan kelembaban di bawahnya, serta memberikan bau yang enak untuk tubuh”.

Berbeda dengan dunia muslim, bangsa Eropa baru merasakan harumnya kopi di abad ke-17. Setidaknya seperti itulah yang disebutkan Claudia Rosen dalam bukunya Coffee. Ia menceritakan bahwa baru pada 1615, saat para pedagang Venesia membawanya ke Eropa, kopi segera menggebrak seisi benua tersebut. Konon di Italia, pihak gereja sempat menghawatirkan beredarnya minuman yang mereka sebut “temuan pahit setan” dan meminta Paus Clament VIII melarang peredarannya. Tapi Paus bukannya melarang,  justru terkesan dengan cita rasa kopi yang kuat. Baginya, kopi sayang sekali jika hanya menjadi minuman ekslusif orang muslim saja, semua orang bolek menikmatinya. Sejak itu kopi tak terbendung lagi di Eropa bahkan di belahan dunia manapun.

Di atas sudah disinggung secara ringkas kontroversi meminum kopi, ada yang membolehkan dan melarang dengan masing-masing memiliki dalil dan argumentasi. As-Syaikh Ibn Hajar al-Haytami mengulas secara khusus perihal silang pendapat ini dalam al-I’ab Syarh al-‘Ubbaab, dan beliau mengembalikan hukumnya kepada qaidah fiqhiyyah Lil Wasail Hukmul Maqashid (Hukum perantara sama dengan hukum tujuan).

Sumber: jejakrekam.com | Humaidy Ibnu Sami

Kedai Kopi Tertua di Indonesia

Warung Tinggi atau yang dulunya bernama Tek Sun Ho didirikan pada tahun 1878 oleh Liaw Tek Soen di jalan Moolen Vliet Oost, Batavia atau Hayam Wuruk, Jakarta. Sudah 137 tahun sudah lima lintas generasi mempertahankan Warung Tinggi.
sumber: swa

Sejarah Kopi Indonesia

Sejarah kopi di Indonesia dikutip dari jurnalbumi.com dimulai pada tahun 1696 ketika Belanda membawa kopi dari Malabar, India, ke Jawa. Mereka membudidayakan tanaman kopi tersebut di Kedawung, sebuah perkebunan yang terletak dekat Batavia. Namun upaya ini gagal kerena tanaman tersebut rusak oleh gempa bumi dan banjir.

credit: Adam Crahen
Upaya kedua dilakukan pada tahun 1699 dengan mendatangkan stek pohon kopi dari Malabar. Pada tahun 1706 sampel kopi yang dihasilkan dari tanaman di Jawa dikirim ke negeri Belanda untuk diteliti di Kebun Raya Amsterdam. Hasilnya sukses besar, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat baik. Selanjutnya tanaman kopi ini dijadikan bibit bagi seluruh perkebunan yang dikembangkan di Indonesia. Belanda pun memperluas areal budidaya kopi ke Sumatera, Sulawesi, Bali, Timor dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.

Pada tahun 1878 terjadi tragedi yang memilukan. Hampir seluruh perkebunan kopi yang ada di Indonesia terutama di dataran rendah rusak terserang penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV). Kala itu semua tanaman kopi yang ada di Indonesia merupakan jenis Arabika (Coffea arabica). Untuk menanggulanginya, Belanda mendatangkan spesies kopi liberika (Coffea liberica) yang diperkirakan lebih tahan terhadap penyakit karat daun.

Sampai beberapa tahun lamanya, kopi liberika menggantikan kopi arabika di perkebunan dataran rendah. Di pasar Eropa kopi liberika saat itu dihargai sama dengan arabika. Namun rupanya tanaman kopi liberika juga mengalami hal yang sama, rusak terserang karat daun. Kemudian pada tahun 1907 Belanda mendatangkan spesies lain yakni kopi robusta (Coffea canephora). Usaha kali ini berhasil, hingga saat ini perkebunan-perkebunan kopi robusta yang ada di dataran rendah bisa bertahan.

Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, seluruh perkebunan kopi Belanda yang ada di Indonesia di nasionalisasi. Sejak itu Belanda tidak lagi menjadi pemasok kopi dunia.


Cap Satu, Pabrik Kopi Tertua di Pulau Timah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Oleh: Ramadhan/Asumsi.co

Semerbak aroma kopi robusta samar-samar tercium ketika saya melewati Jalan Sam Ratulangi, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tepat di pinggir simpang, berdiri sebuah pabrik kopi legendaris. Di sanalah bubuk kopi dengan citarasa khas yang saban pagi jadi pemompa semangat para pekerja pulau timah diproduksi.

Pabrik kopi Cap Satu ini berada satu area dengan rumah keluarga pemilik dan toko kopi. Dengan begitu, sang pemilik bisa dengan mudah memantau produksi, pengemasan, hingga pemasaran.

Pabrik ini berdiri tahun 1968. Nyaris enam dekade bertahan melintasi zaman, kopi Cap Satu jadi andalan keluarga kami sejak zaman kakek, orang tua, hingga saya sendiri. Cap Satu memang bukan satu-satunya pabrik kopi di Bangka, tapi sebagaimana dikatakan Yoyong Seftianto, manajer produksi saat ini, pabrik merekalah yang tertua.

foto: asumsi.co
“Ini sudah generasi keempat, termasuk saya, yang menjalankan pabrik. Pabrik kopi Cap Satu bertahan sampai sekarang karena kami menjaga mutu,” kata Koh Yoyong, Minggu (3/1/21).

Di pabrik tersebut hanya ada delapan pegawai, terdiri dari enam orang di ruang produksi–empat orang tukang sangrai, sisanya tukang giling–dan dua orang di bagian penjualan. “Kalau di sini, saya yang bertanggung jawab untuk mereka-mereka ini di produksi. Sudah 29 tahun saya bekerja di sini,” kata Koh Yoyong yang kini berusia 45 tahun.

Yang menarik perhatian saya: seorang pria tua berambut putih yang ikut dalam proses penggorengan biji kopi. Koh Afo, biasa dia dipanggil dan kini berusia 60 tahun, merupakan yang paling sepuh di antara para penyangrai biji kopi.

Meski bergerak lambat dan tertatih, Koh Afo tetap bekerja telaten, bahkan ikut terlibat dalam pekerjaan fisik seperti menarik dan mendorong alat masak yang berbentuk bola besi besar.

“Koh Afo ini sudah lebih dari 33 tahun bekerja di sini. Gawe e (kerjaannya) masih bagus, makanya bertahan lama,” ucap Koh Yoyong.

No comments

close
pop up banner