Header Ads

Idealisnya Kopi Aceh, Legitnya Kopi Telur di Medan dan Rumitnya Kopi di Kalsel, Lahirlah Hudes (Bagian 1)

Dari sinilah cerita Hudes yang aku bangun bermula dan membawamu pada penyadaran makna tentang impianmu sendiri. Baca tulisan ini hingga selesai. 
 
Potensimu yang kamu sadari dan orang lain enggak percaya kamu bisa adalah satu hal yang membuatmu bertumbuh dan berkembang. Seperti kisah mengenai idealisnya kopi Aceh, legitnya kopi telur di Medan dan rumitnya Kopi di Kalsel, yang melahirkan: hudes.

Lima belas tahun lalu, aroma mie Aceh yang spicy, kopi Aceh yang asem nan cakleti, kopi telur yang legit di Medan, membuatku tersadar. Bahwa kultur kopi dan kuliner di Nusantara sungguh meriah, namun bermakna.

Jauh-jauh dan letihnya perjalanan dari Banjarmasin, tiga jam perjalanan jalur udara ke Medan, dilanjut lima jam lagi menuju Nanggroe Aceh Darussalam jalur darat, terbayar lewat pemaknaan dan pengalaman yang menyadarkan ini. 

Meriahnya Mie Aceh 

Handuk kecil basah tersandar di pundak bapak-bapak yang seolah tiada henti mengaduk dan memelintir mie di dalam kuali besar. Bajunya basah dengan keringat. Tidak mudah berhadapan dengan kuali panas sepanjang siang. Asap beraroma lezat mengepul, mendorong selera makan semakin menggebu. Saat hadir dan terhidang di piring, benar saja, rasa yang lezat menyerbu.

Selama aku di Banjarmasin, belum pernah merasakan mie kuah dengan rasa sekompleks ini. Ada gurih, manis, asam, segar dan pedas yang berani, kalau tidak bisa dibilang "memberontak". Rasanya meriah di mulut. 

Menyeruak begitu saja. Kuahnya itu cukup thick, tetapi segar sekaligus pedas dan panas. Rempah yang banyak dan kuat menghentak dalam setiap seruputan kuahnya. Cukup seret saat ditelan, namun terimbangi dengan licinnya mie yang lurus. Kuahnya seolah membuat ludah terasa kental.

foto ilustrasi: Masriadi Sambo | Kompas

Warung kecil di dalam pasar di daerah Lhokseumawe yang aku singgahi itu memang cukup ramai dengan pembeli. Hidangan mie Acehnya tampak banyak diminati oleh pengunjung pasar. Ini adalah kuliner Aceh kedua yang mengejutkanku setelah pentol bakso yang bentuknya ceper seperti UFO (entah ini masih ada atau enggak). 

Rasa kuliner Aceh yang sungguh rempah banget itu, berkaitan erat dengan cerita dan sejarah Aceh sendiri. Konon Aceh sendiri adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa dan Hindia. Tentu saja sangat panjang kalau dijelaskan begitu saja dalam tulisan ini. Dari sepiring mie Aceh ini, satu hal aku dapat sadari, keragaman rasa dari kuliner entah minuman dan makanan di nusantara kukira tiada bandingannya dengan negara lain, meski itu adalah Andalusia dan Turkiye serta India barangkali. Ini soal makanan, aku menduga begitu juga dengan minuman. Ah sedap!

Malampun tiba, aku dan sahabatku memilih kembali bertualang mencari kuliner khas dari Aceh.

Pertama Kali Merasakan Kopi Rasanya Asam

Pilihan kemudian tertuju pada sebuah warung kopi kecil sederhana. Mungkin hanya sekitar 4 x 3 meter saja luasnya, dengan kursi-kursi berbaris di depannya. Malam itu ada beberapa bapak-bapak yang duduk asyik sambil mengisap tembakau. 

Cahaya temaram menguning memendar dari bola-bola lampu kawat berdaya sekitar 10 watt. Beberapa lampu itu membuat suasana terasa hangat di dinginnya malam. Apalagi ditemani sajian kopi panas dan kudapan lezat.

ilustrasi foto: aliffattah

Pemilik warung, mungkin usianya sekitar 35-an menyambut dan menawari kopi khas Aceh, katanya. 
Kami pun memutuskan memesan kopi Aceh itu, kopi arabika asli dari Aceh dia bilang. Okelah, aku tidak pernah tau apa itu kopi arabika dan saat itu aku juga tidak tau ada lagi jenis kopi yang bernama robusta. 

Seperti orang-orang awam kopi pada umumnya, kopi hitam yang kutau adalah kental, berampas dan pasti pahit! Maskulin! Hitam!

Betapa terkagetnya aku, diseruputan pertama kopi yang kupesan, rasanya: asam. Aku bertanya-tanya, dan menggerutu seketika (di dalam hati), apakah ini kopi basi? Kupandangi gelas kopi kecil dari kaca bening tersebut. Kok tidak ada ampasnya? Kemana itu ampas kopi, dan mengapa kopi ini terlihat bersih coklat kemerahan. Tidak hitam pekat dan keruh. Aromanya manis tapi kok asam?

Bermacam-macam persangkaan sudah ada dalam pikiranku. Aku senggol sahabat yang menemaniku, dan dari matanya, ia mengiakan bahwa kopi yang kami minum memang tidak biasa, aseeeeem rasanya. Aneh, tentu saja aneh waktu itu. Karena biasanya sejak kecil, kalau minum kopi itu pait, aromanya kuat kecoklatan. Ini berbeda.

Akhirnya aku nekatkan diri untuk bertanya kepada abang-abang sang empunya kedai kopi. 

"Kopi apa ini bang, kenapa rasanya asam begini!?" 

"Adek ini mestilah orang pendatang (kira-kira begitu sepertinya percakapan kami malam itu)"

Tanpa jeda panjang ia melanjutkan sambil berdiri dan juga turut mengundang bapak-bapak lainnya ikut mendengarkan, "jangan salah dek, kopi Aceh ini adalah kopi terbaik di dunia. Terkenal di mana-mana. Kopi arabika terbaik yang memang rasanya seperti itu, ada asam-asamnya. Tidak melulu pait saja!" ujarnya mencerocos dengan logat Aceh.

Sebenarnya, ada satu dua kalimat ia bicara dengan pengunjung kedai yang lain dalam bahasa Aceh, yang aku enggak mengerti satu juapun yang ia katakan. Namun jelas dari nadanya, ia agak sedikit jengkel dengan pertanyaanku dan mimik wajahku yang seolah tidak terima dengan kopi berasa asam yang ia sajikan. 

Sejak saat itu menjadi taulah aku bahwa ternyata kopi itu tidak hanya pahit saja. Ternyata ada kopi yang rasanya asem dan ringan, tidak kental dan medok. Namanya pun ada bermacam pula, dari ratusan spesies, yang paling terkenal ternyata adalah arabika dan robusta. Huh? Semakin menarik, dan aku mulai tertarik dengan kopi ini. 

Bertahun-tahun berikutnya, aku menjadi jurnalis di sebuah grup media massa terbesar di negeri ini. Memang sejak sekolah aku sudah aktif di klub majalah dinding, saat SMA pun sama, dan saat kuliah membikin pula koran kampus bersama teman-teman kuliah. 

Aku mulai belajar kopi lebih intens, dan sekitar 2017 aku mencari-cari data mengenai sejarah kopi lokal di daerahku sendiri: Kalimantan Selatan. Sulit sekali, bahkan sampai ke instansi pemerintah pun aku datangi, dan tidak juga kutemukan data-data itu. Aku putuskan mencari, dan mengumpulkan data dari berbagai sumber. Akhirnya terbitlah buku berjudul "Biji-biji Kopi yang Bercerita di Bumi Borneo: Sejarah dan Dinamika Kopi Kalimantan Selatan" dengan dukungan dari Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina di tahun 2021.

Di 2017, mulailah juga aku membuka warung kopi kecil dengan nama HUDES. Sebenarnya nama ini berarti SEDUH, karena ditulis terbalik. Itu saja sebenarnya makna dari HUDES. Fokusku waktu itu adalah mengenalkan kopi lokal Kalsel yang sempat agak diabaikan. Bahkan terungkap pula kemudian, di Kalsel banyak juga ditumbuhi kopi spesies liberika.




insya Allah bersambung . . .

No comments

close
pop up banner