Header Ads

Warung Kopi Slow Bar, Tempat Pertemuan dan Perbincangan Anak Manusia Hari Ini

Duduk di depan meja bar yang di atasnya terletak dua hingga tiga timbangan kopi beserta server dan dripper di atasnya, lalu melihat bagaimana sang penyeduh menyaring kopi tahap demi tahap. Sembari berbincang, yang tak melulu soal kopi. Seperti inilah konsep slow bar tampaknya menjadi sebuah jembatan komunikasi, bagi manusia yang serba rangkap tugas hari ini.

foto: Brigita Santi Purbolaras| wargajogja.net


Konsep warung kopi seperti ini memang tidak lepas dari para pendahulunya yang membuat semacam aliran "getuk tular" ke beberapa daerah di Indonesia. Hingga sekarang, kita lihat konsep slow bar sudah semakin mudah kita temukan.

Para pendahulu itu sebut saja adalah mas Pepeng, dengan Klinik Kopinya. Lahir dan berkembang di Yogyakarta, Klinik Kopi bukan saja sebagai pemantik, namun juga sebagai pembuktian, bahwa konsep slow bar, bisa tumbuh meski tidak over eksponensial dengan pelbagai faktor pendukungnya yang unik.

Tidak bisa tidak, harus kita akui, bahwa Klinik Kopi mendobrak pola kebiasaan warung kopi kekinian sejak awal kemunculannya. Meski mungkin ada yang lebih dulu menggunakan konsep ini, tetap saja, Klinik Kopi boleh dibilang konsisten dan mampu mempertahankan ke-idealisan-nya sendiri. Sehingga kemudian menarik beberapa nama-nama warung kopi lainnya yang menggunakan konsep yang hampir sama.

Komunikasi adalah Kebutuhan Manusia

Konsep slow bar menyajikan apa yang tidak bisa disajikan oleh kofisyop-kofisyop papan atas. Kita berinteraksi lebih lama, mengobrol lebih dalam, hingga tertawa berbarengan di hadapan meja bar yang sama. Ada kesan egaliter dan hangat pada konsep ini. 

Ya, bagi sang introvert mungkin awalnya akan agak kikuk dengan konsep warung kopi model begini. Tapi yakinlah, konsep ini barangkali juga cocok untuk bagi para introvert yang senang mendengar ketimbang bicara. Mendengarkan penyeduh menjelaskan dengan antusias dan balik sedikit memberi respon sudah cukup menjadi keasyikan tersendiri. Bagaimanapun juga, komunikasi adalah kebutuhan manusia. Lebih-lebih untuk manusia hari ini yang lebih banyak berhadapan dengan gawainya.

Sajian Kopi yang Lebih Personal

Kadang-kadang kita sebagai customer, senang juga kalau kita dianggap spesial. Sesederhana misalnya, penyeduh kopi ingat nama kita, atau ingat apa menu kesukaan kita. Pada konsep slow bar, seduhan kopi kita terasa lebih personal, setelah dua atau tiga kali datang ke warung yang sama.

Selain itu biasanya, variasi coffee beans yang disajikan juga membuat kita tidak mudah bosan. Kalaupun misalnya, coffee beansnya sama, biasanya akan dibuatkan beda dengan menggunakan dripper yang beda lah, air yang beda, tingkat gilingan yang beda dan beda,beda, beda yang lainnya.

Namun ada pula konsep slow bar yang beda dengan penjelasan di atas. Warungnya memang berkonsep slow bar, tapi tamu yang datang adalah sesama pendekar kopi dan itu-itu saja. Bahkan mereka menumpuk di depan bar berlama-lama. Sehingga tamu yang baru datang akan merasa kikuk dan tidak enakan. Terasa asing di tengah para customer lama itu.

Entah ownernya adalah pendekar kopi yang membuka warung sekadar hobi atau bagaimana, yang jelas konsep begini biasanya memiliki segmen pelanggan tetap yang seperti itu tadi. 

Berbicara di Yogyakarta, di tempat Klinik Kopi, Menurut Rahadi Sapta Abra, Ketua Panitia Jogja Coffee Week 2022, Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah kedai kopi terbanyak di Indonesia. Hingga artikel tersebut ditulis pada tahun 2022 (www.kumparan.com), tercatat ada sekitar 3000 kedai kopi yang tersebar di seluruh DIY.

Jumlah yang sangat wow bukan? Itu di 2022, entahlah di 2024 ini sudah ada berapa warung kopi di sana, dalam bervariasi bentuk. Dari espresso based hingga yang slow bar ala-ala hidden gem.

Bagaimana di Daerah Lain?

Tentu saja konsep slow bar semakin marak. Bahkan kofisyop dengan fasilitas dan ruang yang mewah hari ini juga mulai menyediakan slow bar yang terpisah dari bar seduh reguler. 

Di Banjarmasin misalnya, tidak susah sekarang menemukan warung kopi dengan konsep slow bar. Barangkali salah satu pelopornya adalah Worth it Coffee Banjarmasin yang dulu bernama W Kopi (Warung Kopi).

Sekitar tahun 2015 dan 2016-an saat era kopi kekinian belum seperti sekarang, Worth It Coffee yang digerakkan oleh Tirta Surya sudah menyediakan konsep slow bar. Kita bisa berbincang, duduk di depan penyeduh sambil melihat proses seduh perkolasi yang saat itu terasa sangat tidak biasa.

Penelitian

Ellyda Chaterina Hutabarat, Naila Zulfa, M.A., M.S., PGDip., Ph. D., FHEA dalam tesisnya yang berjudul Analisis Consumption Value dan Customer Experience pada Kedai Kopi Konsep Slow Bar dan Non Slow Bar menjelaskan kurang lebihnya begini:

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan consumption value dan customer experience pada kedai kopi konsep slow bar dan non slow bar

Selain itu, ditemukan juga hubungan kesamaan antara nilai epistemic pada consumption value dengan dimensi think pada customer experience dan nilai emotional pada consumption value dengan dimensi feel pada customer experience

Hasil penelitian juga menunjukkan dimensi sense memberikan pengaruh munculnya dimensi feel baik pada kedai kopi konsep slow bar dan non slow bar

Sudah Mencoba?

Jadi bagaimana, apakah brewers sudah mencoba warung kopi slow bar ini? Atau jangan-jangan sudah membuka slow bar sendiri? Bagaimanapun juga, ini bagus untuk perkembangan kopi di Indonesia. Segmen seperti ini bakal memberikan edukasi kopi organik yang bagus untuk penikmat kopi di negeri ini.

No comments

close
pop up banner