Header Ads

Syaiful Bari, the Son of a Coffee Farmer from Jember, Who Imparts Coffee Knowledge to 1,421 Alumni

Dia adalah seorang anak petani kopi dari Silo, Jember, Jawa Timur yang membuktikan diri, bahwa sesiapa saja bisa berkarya dan bermanfaat dengan potensinya masing-masing. Sebagai sebuah karunia dari Tuhan. 

Bukan hanya sebagai Q Grader berstandar internasional, lelaki ini juga sudah mencetak 1.421 alumni kelas kopi yang dikembangkannya. Ia juga memiliki 158.000 subscriber di kanal YouTubenya. Mari ikut bersama Hudes berbincang dengan Syaiful Bari.

HUDES | Worldwide Specialty Reading for Manual Coffee Brewers

HUDES: Terima kasih mas Syaiful sudah mau berbagi cerita ke pembaca Hudes. Boleh kenalan sedikit mas. Sejak kapan mulai suka kopi?

SYAIFUL BARI - image: @brewpour doc.
SYAIFUL BARI: Halo, perkenalkan, saya Syaiful Bari, anak petani kopi di Silo, Jember, Jawa Timur. Kenal kopi sejak kecil, mulai ngopi hitam saat kuliah di Jogja dan akhirnya jatuh hati ke industri kopi pasca resign sebagai Deputy Manager Bidang Administrasi di Sekretariat Jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa. Bikin warung kopi di Depok tahun 2012. Saat ini aktif di YouTube dengan 158.000 subscribers.

HUDES: Luar biasa, seorang anak petani kopi yang kemudian serius ke kopi. Kalau tidak salah sudah bersertifikasi Q Arabika Grader dan ILAC judge. Menurut mas Bari, pada tahapan apa, seseorang yang bergelut di industri kopi perlu mengambil sertifikasi CQI Q/R Grader?

SYAIFUL BARI (@brewpour) | image: brewpour doc.

SYAIFUL BARI: Q Grader atau “Quality Grader” itu kan seorang profesional industri kopi yang telah memiliki lisensi karena lulus berhasil menguasai serangkaian keterampilan yang dibutuhkan sebagai penguji atau penilai untuk mengevaluasi kopi secara menyeluruh dan objektif berdasarkan karakteristik dan kualitas fisik serta sensoriknya, dengan protokol dan standar yang ditetapkan oleh CQI. 

Q Grader memiliki “patokan” sensorik, istilah dan bahasa kualitas yang sama untuk menilai dan menggambarkan semua komponen atribut rasa kopi, baik kopi yang berkualitas terburuk hingga terbaik.

Karena itu, menurut saya, seseorang dapat memilih menjadi Q Grader bersamaan dengan pekerjaan kopi yang mereka lakukan, terutama sejauh berhubungan dan berkepentingan dengan kualitas kopi baik itu roaster, green buyer, exporter, judge dan instruktur pelatihan kopi.

Sebenarnya semakin banyak profesional industri kopi yang menjadi Q Grader, baik itu arabica maupun robusta, bagi saya itu makin bagus, apalagi di negara produsen kopi seperti kita, sehingga yang memahami dan mengapresiasi kualitas semakin banyak. 

Namun, seperti yang kita tahu, tantangan untuk sertifikasi dan mendapatkan lisensi Q Grader itu memang tidak mudah dan juga tidak murah. Tidak disarankan untuk pemula.

HUDES: Mas Syaiful juga dikenal sebagai Pendekar Latte Art, jago banget ngelatte artnya. Sejak kapan mulai tertarik latte art dan gimana awal mula prosesnya belajar? Apa langsung pakai mesin espresso dulu?

SYAIFUL BARI: Ha-ha-ha. Level saya belum ke pendekar mas. Pertama tertarik itu sebenarnya ke sensory dulu, baru suka manual brew dan espresso manual pakai Rok Presso (waktu itu saya punya empat), terus terakhir ke latte art. Jadi, senang nge-latte art itu belakangan datangnya, sekitar tahun 2015, itupun masih pakai alat-alat seadanya, manualan semua. 

Brewingnya kadang pakai Rok Presso gantian sama moka pot, lalu milk steaming saya pakai macam-macam. Hampir semua alat manual steamer saya coba, dari Bellman, frother hingga french press. 

Latihannya siang malam, lelah kalah sama semangat, habis banyak kopi dan berkarton-karton susu, belum termasuk bahan pengganti espresso kayak powder coklat dan berkaleng-kaleng kental manis. Kalau sudah bokek, kecap dan sabun solusinya.

Ketika 2016 memutuskan membeli mesin espresso, perasaan saya begitu riang gembira. Intensitas latihan latte art menjadi lebih banyak lagi, meskipun perlu adaptasi dengan alat baru. Belajar lagi dial in atau kalibrasi dengan mesin espresso, sekaligus membiasakan steam susu. 

Sama-sama pakai mesin espresso, kalau brand dan kasta mesinnya berbeda, perlakuannya bisa beda, apalagi saat itu transisinya dari alat manual ke mesin. Jelas dong saya perlu belajar lagi. Semua proses dan episode belajar tersebut sangat menyenangkan untuk dikenang.

HUDES: Perbedaan antara latte art menggunakan mesin espresso dan manual (misalnya french press) dari segi tampilan dan rasa? 

SYAIFUL BARI: Perbedaan antara mesin espresso dan alat manual ini sangat unik dan agak mengejutkan, mungkin. Yang pasti kalau bab ekstraksi espresso, jelas mesin memimpin dengan hasil yang lebih optimal dan konsisten, baik dari sensory maupun visual. Apalagi dimanja dengan aneka fitur yang sangat membantu kerja barista di mesin mahal. Fitur-fitur tersebut kan selalu berhubungan dengan brewing espresso, bukan steaming susu.

Sebenarnya kita beli mesin mahal hingga ratusan juta itu ya yang dikejar adalah kualitas ekstraksi atau brewing espressonya, bukan di urusan steamingnya. Mesin home use yang harganya murah kalau tahu cara pakai dan memaksimalkannya, hasil steaming juga bagus kok. 

Hal ini juga berlaku di alat-alat manual seperti bellman atau bahkan yang termurah adalah french press. Hasil steaming alat-alat manual tidak kalah sama mesin. Bahkan untuk beberapa orang yang saya kenal, hasil steaming manual steamer bisa seimbang bahkan sedikit lebih baik ketimbang mesin, baik rasa maupun tampilannya. Bisa silky, shiny, glossy, creamy, sweet dan well balanced.

Ini masuk akal karena kalau pakai french press, variables dan teknik steaming lebih mudah dikontrol terutama heating panasnya susu yang ideal tidak mungkin terlalu dingin dan atau terlalu panas karena susu dipanaskan terpisah pakai kompor dan diukur pakai thermo.

Di mesin tantangannya berbeda karena heating susu itu berbarengan dengan streching atau aerasi dan rolling atau rotasi saat steaming dalam rentang waktu yang sangat singkat.

Jadi jelas mesin unggul di brewing espresso, sedangkan dalam hal steaming keduanya baik mesin maupun alat manual bisa sama-sama menghasilkan steamed milk yang baik untuk latte art.

BERSAMA ALUMNI - foto: brewpour doc.

HUDES: Bagi pemula yang mau belajar latte art, sebaiknya otodidak atau ambil kelas. Lebih hemat dan efektif yang mana menurut mas Syaiful?

SYAIFUL BARI: Sejauh yang saya alami, belajar otodidak itu memang lebih fleksibel. Namun, risikonya banyak banget. Mulai waktunya yang lama banget tidak bisa-bisa, banyak waktu terbuang, biaya belanja bahan yang tidak murah, hingga rentan aneka kesalahan fatal yang tidak disadari bahkan dianggap kebenaran semu, terparah bisa stres dan frustasi sendiri tanpa coach yang bisa jadi teman berbagi dan diskusi.

Saya sangat menyarankan ambil kelas atau ikut training mulai dari yang basic hingga lanjutan. Tapi jangan asal ikut kelas, sebaiknya dipelajari dulu dengan detail, siapa sosok yang mengajar dan pemilik training di belakangnya. 

Sebab saat ini banyak tawaran kursus kopi termasuk latte art berbiaya murah tapi tidak jelas latar belakang instrukturnya. Yang ironis, baru kerja sebentar jadi barista sudah buka kelas, terutama yang online, jadi berhati-hati lebih baik ketimbang terburu-buru ambil kelas latte art.

Sekali lagi, sangat direkomendasikan ambil kelas atau training daripada otodidak latte art. Saya sendiri banyak pengalaman ngajar peserta latte art yang sudah punya “gelas terisi” dari belajar otodidak yang akhirnya memutuskan ikut kelas. 

Mereka tentu membawa “gelas terisi” yang belum tentu benar misalnya kebiasaan pouring yang salah namun selama ini diyakini benar ke dalam kelas. Kalau gelas tersebut tidak dikosongkan terlebih dahulu, maka akan memperlambat pencapain yang bersangkutan, bisa-bisa dibalap oleh peserta yang sebelumnya 100 persen tidak punya pengalaman sama sekali.

MENGAJAR - foto: @teguh_unobig

HUDES: Untuk kompetisi latte art, apa sih point utama yang dinilai mas?

SYAIFUL BARI: Banyak, mulai dari technical hingga visual latte art. Khusus visual, yang dinilai itu dari identical, visual foam quality atau visual surface, contrast, harmony, successfully achieved hingga overall appeal. Bahkan si pembuatnya juga dinilai, yakni hospitality, penggunaan semua alat hingga overall dari performance si barista.

Sangat disarankan untuk sahabat yang mau ikut kompetisi latte art seperti Liga Kopi dan Nasional, untuk fokus dan tuntas membaca Rules
dan Regulations WLAC terbaru, karena biasanya setiap tahun ada update.

HUDES: Mas Syaiful banyak menghasilkan alumni kelas kopi, banyak memberi kelas juga. Seneng enggak sih mas banyak punya alumni dan banyak ngasih ilmu ke banyak orang? Apa pengalaman yang paling berkesan selama mengajar?

SYAIFUL BARI: Senang pakai banget mas. Bukan hanya di kelas-kelas tertentu tapi di semua angkatan karena bagi saya setiap peserta itu unik dan spesial dengan latar belakangnya masing-masing. Alhamdulillah sudah 1.421 alumni sebelum saya pindah ke Jember.

Yang paling berkesan adalah ketika ngajar beberapa hari di luar kota terutama yang bekerjasama dengan Institut Kemandirian. Ratusan pendaftar meski yang lolos seleksi 10 orang di setiap angkatannya. 100 persen biaya ditanggung oleh Institut Kemandirian. Namun, meski gratis, semua peserta sangat serius dan total dalam mengikuti training.

HUDES: Benar-benar menginspirasi. Semoga terus konsisten. 

No comments

close
pop up banner