Header Ads

Mendengarkan Keresahan Rani Mayasari Partadiredja Mengenai Kopi Indonesia Masa Depan

Hudes berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan seorang wanita dari Provinsi Jawa Barat, Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi terhadap perkembangan kopi di daerahnya. Wanita ini juga berperan sebagai prosesor pasca panen yang memproses hasil panen kopi menggunakan teknologi hemat air dan energi. Dia bukan hanya saja berkelindan di level nasional, namun juga mengharumkan Indonesia di pentas global.

Melalui bendera Java Halu Coffee Farm ia menanam kopi di Gunung Tilu, Gunung Halu dan Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat. Hingga kini Java Halu Coffee farm telah memproses kopi dengan metode wash doubel soak, black honey anaerobic, dan natural anaerobic. Namun di balik kesuksesannya mengangkat kopi Indonesia, ada sebuah keresahan mengenai masa depan kopi di tanah kelahirannya ini.

Dia adalah Rani Mayasari Partadiredja akrab disapa Teh Rani, owner Java Halu Coffee Farm dan Q Processor Coffee berstandar internasional, mari ikuti wawancara Hudes bersama Teh Rani, tentang pengelolaan coffee farm hingga keresahannya itu.


HUDES | Specialty Reading for Manual Coffee Brewers


HUDES: Bagaimana perjalanan awal Teh Rani dalam menekuni profesi sebagai hingga seorang prosesor dan eksportir kopi di kancah global?

RANI: Sejak tahun 2009, saya mulai terjun ke industri kopi bermula dari membuka kedai kopi dan menyediakan kue-kue kecil untuk keperluan coffee break kantor. Tahun berikutnya, tren coffee shop yang bergeser ke specialty coffee semakin berkembang. Hingga di 2012 saya memutuskan ekspansi dengan membuka specialty coffee shop pertama di Buah Batu, Bandung.

Dari situlah saya mulai menyadari pentingnya ketersediaan stok kopi dan kualitas biji kopi. Hal ini mendorong saya untuk lebih mendalami industri kopi, terutama dari sisi hulu, untuk memastikan kualitas kopi yang kami jual tetap terjamin.

RANI MAYASARI PARTADIREDJA | foto: Rani Mayasari Partadiredja doc.

HUDES: Bisakah Teh Rani ceritakan bagaimana mulai terlibat dalam pengelolaan kebun kopi, hingga pada akhirnya mendalami proses pengolahan dan ekspor kopi?

RANI: Keterlibatan saya di sektor hulu dimulai ketika saya menghadapi kendala dalam memastikan kualitas dan kuantitas kopi untuk coffee shop saya sendiri. Lokasi saya yang berada di Gunung Halu mendukung saya untuk belajar lebih dalam tentang budidaya kopi. 

Saya mulai mempelajari teknik dari para petani kopi di sekitar, termasuk yang berada di hutan Perhutani. Namun, ketika tanaman kopi saya mulai menghasilkan panen yang melimpah, saya menyadari kurangnya pengetahuan yang terstandarisasi tentang proses pascapanen. 

Saat itu, di tahun 2016, belum ada kelas atau kursus pengolahan kopi di Indonesia. Kesempatan besar datang pada 2019 ketika saya mengikuti kelas CQI Q Processing di Simalungun bersama Lisa & Leo Organic Farm. 

Dari sana, saya mempelajari proses pascapanen kopi dengan lebih mendalam, termasuk pentingnya mindset yang benar sebagai prosesor.

HUDES: Sebagai seorang yang ahli dalam pengolahan kopi pasca panen, bisa jelaskan pendekatan atau teknik apa yang digunakan untuk meningkatkan kualitas kopi yang dihasilkan?

foto: Rani Mayasari Partadiredja doc.

RANI: Pendekatan saya lebih berfokus pada pemahaman terhadap tanah dan lingkungan yang sehat. Sebagus apa pun varietas kopi yang ditanam, jika petani tidak memahami kebutuhan dasar tanaman, hasilnya tidak akan maksimal. Selain itu, prosesor harus bertanggung jawab dalam setiap tahap pengolahan, karena kesalahan mindset dapat berdampak besar terhadap kualitas akhir kopi.

Teknik yang saya terapkan adalah memastikan bahan baku berkualitas dari petani yang cerdas dan peduli terhadap kualitas tanah mereka. Di samping itu, teknologi pascapanen juga penting untuk meningkatkan kualitas hasil produksi.

Berbagi Keresahan Mengenai Kopi Indonesia Masa Depan 

HUDES: Apa tantangan utama yang Teh Rani hadapi saat ini dalam menjaga standar kualitas kopi Indonesia agar mendekati kualitas varietas unggul seperti Geisha dari Panama atau Kolombia misalnya?

foto: Rani Mayasari Partadiredja doc.

RANI: Tantangan utama adalah menyamakan persepsi antara petani, prosesor, dan pembeli mengenai pentingnya lingkungan yang sehat dan keberlanjutan produksi kopi. Prosesor berada di tengah-tengah antara petani dan pembeli, sehingga penting untuk menemukan bahasa yang sama meski lingkungan dan wawasan yang dimiliki berbeda.

Di Indonesia, masih ada kendala besar dalam hal teknologi pascapanen. Mesin-mesin yang berkualitas sangat mahal dan sulit diakses oleh prosesor kecil, padahal 90 persen pelaku industri kopi hulu di Indonesia adalah smallholder farmers. Ini salah satu tantangan terbesar yang perlu segera diatasi.

HUDES: Bagaimana melihat perkembangan kopi spesialti di Indonesia dari perspektif sektor hulu? Apa yang perlu diperbaiki atau diperhatikan dalam pengelolaan kopi spesialti di tingkat produksi?

RANI: Perkembangan kopi spesialti di Indonesia sangat baik dan terus meningkat. Dunia luar sangat mengapresiasi kopi spesialti kita. Banyak anak muda yang tertarik menekuni sektor hulu dengan memproses kopi spesialti, yang menandakan bahwa dunia spesialti coffee semakin "sexy" saat ini.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah kesadaran akan dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas di sektor hulu. Pengelolaan washing station yang baik dan peduli terhadap lingkungan menjadi hal yang sangat penting.

HUDES: Selama ini, apa kendala utama yang dihadapi oleh petani dan eksportir kopi Indonesia dalam meningkatkan kualitas kopi yang diekspor, khususnya dari segi regulasi, standar ekspor, atau teknologi di sektor hulu?

foto: Rani Mayasari Partadiredja doc.

RANI: Kendala utama dalam ekspor kopi adalah kualitas, kuantitas, kontinuitas, kemasan, dan administrasi. Banyak petani belum teredukasi dengan baik mengenai standar ekspor, dan biaya untuk mengikuti kursus atau kelas yang mendukung pengetahuan mereka cukup tinggi. Di sisi lain, perubahan iklim juga menjadi tantangan besar yang berdampak pada produksi kopi.

Teknologi pascapanen juga masih menjadi masalah. Sementara negara seperti Vietnam telah mengembangkan teknologi pascapanen dengan mesin-mesin buatan dalam negeri yang berkualitas. 

Di Indonesia, mesin-mesin yang sesuai kebutuhan kualitas masih sangat mahal dan sulit diakses oleh prosesor kecil.

HUDES: Ada anggapan bahwa Indonesia lebih fokus pada kuantitas ekspor ketimbang kualitas, dengan lebih banyaknya kopi robusta yang diekspor dibandingkan dengan arabika. Bagaimana pandangan Mba Rani mengenai hal ini? Apakah menurut Teh Rani kopi arabika Indonesia bisa bersaing dan bahkan mengalahkan varietas seperti Geisha di masa depan?

RANI: Memang benar bahwa Indonesia lebih fokus pada kuantitas ekspor, terutama robusta, karena KPI pemerintah lebih banyak berfokus pada angka ekspor. Namun, kopi arabika Indonesia memiliki potensi besar untuk bersaing di pasar internasional. Jika kita fokus pada kualitas, saya yakin arabika kita bisa bersaing dan bahkan mengalahkan varietas seperti Geisha dalam beberapa dekade ke depan.

Yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas budidaya di kebun kopi, meningkatkan kapasitas tenaga kerja di sektor hulu, dan memaksimalkan penggunaan teknologi pascapanen.

HUDES: Bagaimana pandangan terhadap peran pemerintah saat ini dalam mendukung industri kopi di sektor hulu? Apakah pemerintah sudah maksimal mendorong kopi Indonesia bersaing di tingkat global?

RANI: Pemerintah belum maksimal dalam mendukung sektor hulu. Mereka mendorong peningkatan ekspor, tetapi studi kelayakan di lapangan tidak seimbang. Masih banyak petani yang belum teredukasi dengan baik. Kursus atau pelatihan hulu kopi hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki dana besar.

Menurut saya, pemerintah sebaiknya lebih berfokus pada peningkatan kapasitas dan kualitas UKM sebelum mendorong mereka untuk bersaing di pasar global.

HUDES: Apakah kebijakan pemerintah saat ini lebih mendukung pengelolaan kualitas atau kuantitas dalam ekspor kopi? Apakah ada kebijakan atau dukungan lain yang menurut Teh Rani masih kurang?

RANI: Pemerintah saat ini lebih berfokus pada kuantitas, karena KPI mereka berdasarkan jumlah ekspor. Kebijakan yang lebih mendalam dan terarah untuk meningkatkan kualitas kopi, terutama di sektor hulu, masih kurang. Penyuluh pertanian yang bersentuhan langsung dengan petani perlu diberikan anggaran yang cukup agar mereka bisa mengikuti perkembangan industri kopi dan membantu petani secara langsung.

HUDES: Mengingat semakin ketatnya persyaratan ekspor kopi secara global, seperti sertifikasi organik, deforestasi, dan traceability, bagaimana melihat masa depan kopi arabika Indonesia? Apakah fokus ke kualitas kopi arabika memungkinkan untuk ditingkatkan di tengah tantangan tersebut?

RANI: Saya optimis dengan masa depan arabika Indonesia. Jika kita fokus pada kualitas, kopi arabika masih memiliki peluang besar untuk bertahan dan berkembang hingga 30 tahun ke depan, meski tantangan sertifikasi, traceability, dan deforestasi semakin ketat. Yang penting adalah pelaku industri kopi di hulu harus memiliki kesadaran lingkungan dan sosial yang tinggi.

HUDES: Apa harapan untuk industri kopi Indonesia ke depan, terutama terkait inovasi, peningkatan kualitas, dan daya saing di pasar internasional?

RANI: Harapan saya adalah agar semakin banyak pelaku industri kopi yang menyadari pentingnya menjaga kualitas lingkungan untuk masa depan kopi. Media juga berperan penting dalam mendukung dan menyebarkan kesadaran ini, agar industri kopi Indonesia bisa terus berkembang dan bersaing di tingkat global. ()

No comments

close
pop up banner